Sudah sejak berabad – abad yang lalu para ilmuwan dan para ahli pemikir memperhatikan seluk – beluk kehidupan anak, khususnya dari sudut perkembangannya, untuk mempengaruhi proses – proses perkembangan agar mencapai kesejahteraan hidup yang didambakan.
Anak harus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang matang, yang sanggup dan mampu mengurus dirinya sendiri dan tidak senantiasa bergantung kepada orang lain atau bahkan menimbulkan masalah bagi keluarga, kelompok atau masyarakatnya.
Pada abad pertengahan, segi moral dan pendidikan keagamaan menjadi pusat perhatian dan menjadi tujuan umum dari pendidikan. Pandangan terhadap anak sebagai pribadi yang masih murni, jauh dari unsur – unsur yang mendorong anak ke perbuatan – perbuatan yang tergolong dosa dan tidak bermoral, banyak dipengaruhi oleh aktivitas – aktivitas keagamaan pada waktu itu.
Tokoh – tokoh agama dan cendekiawan – cendekiawan mengenai masalah kemanusiaan, banyak mendorong dan mempengaruhi orangtua untuk memperlakukan anak secara berbeda dengan orang dewasa.
Para filsuf, dokter, ahli pendidikan dan ahli Theologi memberikan pandangan mengenai anak dan latar belakang perkembangannya serta pengaruh – pengaruh keturunan dan lingkungan hidup terhadap kejiwaan anak.
Pada akhir abad ke 17, seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632 – 1704) mengemukakan, bahwa pengalaman dan
pendidikan merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan kepribadian anak. Isi kejiwaan anak ketika dilahirkan diibaratkan secarik kertas yang masih bersih. Jadi bagaimana goresan yang meninggalkan jejak pada kertas itu, menentukan bagaimana kertas tersebut jadinya, baik ujud maupun ragamnya.
John Locke memperkenalkan teori “tabula rasa” untuk mengungkapkan pentingnya pengaruh pengalaman dan lingkungan hidup terhadap perkembangan anak. Ketika dilahirkan seorang anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsang – rangsang yang berasal dari lingkungan.
Orangtua menjadi tokoh penting yang mengatur rangsang – rangsang dalam mengisi “secarik kertas” yang bersih ini. Pandangan John Locke ini dikenal dengan empirisme (= pengalaman) atau environtmentalisme (= lingkungan) menjadi titik mula dari timbulnya teori belajar di kemudian hari.
Seorang filsuf lain dari Perancis bernama Jean Jacques Rousseau (1712 — 1778) mengemukakan pandangan yang bertolak belakang dengan pandangan John Locke di atas. Rousseau berpendapat bahwa semua orang ketika dilahirkan mempunyai dasar – dasar moral yang baik. Rousseau mempergunakan istilah “noble savage” untuk menerangkan segi moral ini, yakni hal – hal mengenai baik atau buruk, benar atau salah, yang dimiliki sebagai potensi pada anak dari kelahirannya.
Pandangan Rousseau menjadi titik – tolak dari pandangan yang menitik – beratkan faktor dunia dalam atau faktor keturunan sebagai faktor yang penting terhadap isi kejiwaan dan gambaran kepribadian seseorang. Karakteristik yang diperlihatkan seseorang bersifat intrinsik dan karena itu pandangan Rousseau digolongkan pada pandangan yang beraliran nativisme.
Kedua pandangan yang saling berlawanan ini menjadi obyek pembahasan dari banyak tokoh dan tidak pernah sampai pada suatu penyelesaian yang memuaskan semua pihak. Akhirnya kita bersyukur ketika pada tahun 1958, seorang psikolog wanita terkenal dan pernah menjabat sebagai Presiden dari American Psychological Association, bernama Anne Anastasi, mengajukan makalah klasik yang dianggap bisa memuaskan semua pihak, sedikitnya meredakan pertentangan antara empirisme versus nativisme dalam mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang.
Anastasi mengemukakan bahwa pengaruh keturunan terhadap tingkah laku selalu terjadi secara tidak langsung. Tidak satu pun dari fungsi – fungsi psikis yang secara langsung diturunkan oleh orangtua kepada anak. Pengaruh keturunan selalu membutuhkan perantara atau perangsang yang terdapat dalam lingkungan, sekalipun kenyataannya memang ada semacam tingkatan yang lebih dan yang kurang. Hal ini dicontohkan dengan kenyataan – kenyataan sebagai berikut :
1. Latar belakang keturunan yang sama mungkin dihasilkan ciri – ciri kepribadian yang berbeda pada kondisi – kondisi lingkungan yang berbeda pula.
2. Latar belakang keturunan yang berbeda dan pada lingkungan hidup yang berbeda pula, dapat dihasilkan pola perkembangan yang sama atau hampir sama.
3. Lingkungan hidup yang sama bisa menimbulkan perbedaan – perbedaan ciri kepribadian pada anak – anak yang berlainan latar belakang keturunannya.
4. Lingkungan hidup yang tidak sama bisa menimbulkan persamaan dalam ciri – ciri kepribadian, meskipun latar belakang keturunan tidak sama.
Pustaka
Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Oleh Prof. DR. Singgih D Gunarsa dan Dra Yulia Singgih D Gunarsa, BPK.
0 komentar:
Posting Komentar