Ada tiga bentuk karya sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama. Puisi adalah karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia.
Karya – karya sastra lama yang berbentuk puisi, contohnya adalah Mahabharata, Ramayana dari India yang berbentuk puisi atau karya (kakawin). Drama – drama Sophocles (Oedipus Sang Raja, Oedipus di Kolonus, dan Antigone) dan drama – drama William Shakespeare (Hamlet, Macbeth, dan Romeo dan Juliet) juga berbentuk puisi.
Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata – kata kias (imajinatif). Kata – kata betul – betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat atau padat, namun berkekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata – kata yang memiliki persamaan bunyi (rima).
Kata – kata itu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak. Karena itu, kata – kata dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif.
A. Ciri – ciri Kebahasaan Puisi
Jika diuraikan lebih rinci, ciri – ciri puisi dari segi kebahasaan atau bentuk adalah sebagai berikut:
1. Pemadatan Bahasa
Bahasa dipadatkan agar berkekuatan gaib. Jika puisi itu dibaca deretan kata – kata tidak membentuk kalimat dan alinea, tetapi membentuk larik dan bait yang sama sekali berbeda hakikatnya.
Larik memiliki makna yang lebih luas dari kalimat. Dengan perwujudan tersebut, diharapkan kata atau frase juga memiliki makna yang lebih luas daripada kalimat biasa.
Berikut ini tiga bait puisi “Doa” karya Chairil Anwar:
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh
CayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Bait pertama puisi tersebut terdiri atas tiga larik. Masing – masing larik tidak dapat disebut kalimat. Kunci utama bait itu adalah kata termangu. Termangu dalam hal apa, kepada siapa, tentang apa, dan banyak pertanyaan lain. Mungkin penyair ingin mengatakan bahwa di dalam kegoyahan imannya kepada Tuhan, (termangu), is masih menyebut nama Tuhan (dalam doa – doanya).
Bait kedua dengan kata kunci susah. Susah dalam hal apa? Tentang apa? Karena apa? Ditafsirkan bahwa penyair sangat sulit berkonsentrasi dalam doa untuk berkomunikasi kepada Tuhan secara total (penuh seluruh). Dalam kegoncangan iman, kesulitan berkonsentrasi untuk “dialog” dengan Tuhan memang dimungkinkan.
Bait ketiga kata kuncinya adalah Cahaya lilin ini mewakili cahaya yang sangat penting untuk menerangi kegelapan malam, atau mewakili cahaya yang rapuh dalam kegelapan malam. Mungkin penyair bermaksud untuk menyatakan bahwa cahaya iman dari Tuhan tinggal cahaya kecil di lubuk hati penyair yang siap padam (karena kegoncangan iman).
2. Pemilihan Kata Khas
Puisi Chairil Anwar di atas menggunakan kata – kata khas puisi, bukan kata – kata untuk prosa atau bahasa sehari – hari. Tentu saja tidak semua kata – katanya khas puisi, pasti ada kata – kata yang jelas seperti dalam prosa atau bahasa sehari – hari.
Kalau sernua kata – katanya khas puisi, puisinya menjadi gelap dan sulit dipahami.
Dari puisi “Doa” tersebut ada beberapa kata yang sulit ditafsirkan secara langsung, seperti termangu, menyebut namaMu, susah sungguh, caayaMu panas suci, kerdip lilin, dan kelam sunyi. Kata – kata tersebut tidak bermakna lugas, tetapi bermakna kias.
Kata – kata yang dipilih penyair dipertimbangkan betul dari berbagai aspek dan efek pengucapannya. Tidak jarang kata – kata tertentu dicoret beberapa kali karena belum secara tepat mewakili pikiran dan suara hati penyair (Lihat naskah asli puisi karya para penyair di Pusat Dokumentasi H . B. Jassin).
Faktor – faktor yang dipertimbangkan dalam memilih kata adalah sebagai berikut:
a. Makna Kias
Sudah dijelaskan di depan bahwa makna kias banyak digunakan dalam karya sastra. Puisi adalah genre sastra yang paling banyak menggunakan makna kias. Di samping puisi di depan, berikut ini dikutip dua bait puisi All Hasjmy, salah seorang penyair Angkatan Pujangga Baru berjudul “Menyesal”:
Pagiku hilang sudah melayang
hari mudaku telah perai
Kini petang datang membayang
batang usiaku sudah tinagi
Aku lalai di hari pagi
beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
miskin ilmu, miskin harta.
Dalam puisi tersebut makna kias mudah dipahami karena diberi penjelasan pada baris berikutnya. Kata pagi diberi penjelasan muda. Kata petang diberi penjelasan batang usiaku sudah tinggi (tua).
b. Lambang
Dalam puisi, banyak digunakan lambang yaitu penggantian suatu hal / benda dengan hal / benda lain. Ada lambang yang bersifat lokal, kedaerahan, nasional, ada juga yang bersifat universal (berlaku untuk semua manusia). Misalnya bendera adalah lambang identitas negara, dan bersalaman adalah lambang persahabatan, pertemuan, atau perpisahan.
Berikut ini dikutip puisi yang mengandung lambang dari beberapa bait puisi Rendra berjudul “Surat Kepada Bunda Tentang Calon Menantunya”:
Tapi halusnya putih pergi kembara
bulan keramik putih tanpa darah
warna jingga adalah mata Samijo
menatap ia, menatap amat tajamnya.
Padamkan iinaga apimu. Padamkan!
Demi selaput sutraku putih: padamkan!
Kata – kata halusnya putih mengacu pada roh Sumilah yang suci (karena ia telah mati). Kata jingga dalam puisi ini menggambarkan kebencian. Dalam puisi ini diceritakan Samijo sangat benci pada Sumilah, pacarnya, karena mengira Sumilah telah mengkhianatinya.
Lambang bunyi artinya makna khusus yang diciptakan oleh bunyi – bunyi atau perpaduan bunyi – bunyi tertentu. Misalnya bunyi seruling yang mendayu – dayu mengingatkan kita akan tanah Pasundan (Priangan). Bunyi gamelan membawa kita kepada alam Jawa Tengah dan Jawa Timur. Begitu juga bunyi – bunyi khas Bali, Ambon dan sebagainya melambangkan kedaerahan tertentu.
Di samping itu vokal, konsonan, dan perpaduan vokal konsonan dapat membentuk sifat tertentu dari puisi. Hal ini juga termasuk lambang bunyi. Berikut ini puisi Ramadhan K.H. yang kental dengan lambang bunyi:
Serulinq di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina
tembang menggema di dua kaki
Burangrang – Tangkuban Prahu
Jamrut di pucuk – pucuk
Jamrut di air tipis menurun
Kata seruling melambangkan tanah Pasundan yang terkenal dengan bunyi seruling yang khas meliuk – liuk sendu. Terlebih jika dikaitkan dengan Gunung Burangrang (legenda Lutung Kasarung) dan Tangkuban Perahu (legenda Sangkuriang maka akan lebih meyakinkan pembaca bahwa puisi ini bernada sendu dan menggambarkan kedukaan.
Pustaka
Apresiasi puisi : panduan untuk pelajar dan mahasiswa, Oleh Herman J. Waluyo.
0 komentar:
Posting Komentar