Sabtu, 04 Juni 2011

PROTEIN PADA WIJEN

STUDI PERUBAHAN PROTEIN TERLARUT SELAMA PERKECAMBAHAN BIJI WIJEN (Sesamun indicum L.) MENGGUNAKAN PENDEKATAN RESPON SURFACE METHODOLOGY

Oleh
Lutfi Suhendra
Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana


PENDAHULUAN

Proses perkecambahan benih merupakan rangkaian komplek dari perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Protein, pati dan lipid setelah dirombak oleh enzim-enzim digunakan sebagai bahan penyusun pertumbuhan didaerah-daerah titik-titik tumbuh dan sebagai bahan bakar respirasi (Sutopo, 2002). Selama proses perkecambahan menyebabkan terjadinya perubahan nilai nutrisi yang terkandung dalam biji. Perubahan nilai nutrisi ini dapat digunakan untuk memperbaiki nilai gizi atau untuk produk olahan.
King dan Puwastien (1987) melaporkan peningkatan nitrogen non protein dan penurunan kandungan nitrogen protein pada perkecambahan biji lamtoro (Psophocarpus tetragonolobus). Komposisi asam amino menurun pada lama perkecambahan 48 jam dan adanya peningkatan signifikan konsentrasi sistein, asam asparat dan histidin pada lama perkecambahan 72 jam. Pada lama perkecambahan 72 jam protein terlarut konsentrasi protein terlarut tertinggi.
Perubahan nitrogen non protein, protein terlarut dan asam amino selama perkecambahan biji telah banyak diteliti pada beberapa biji (Harrison dan Vanderstoep, 1984; Wang dan Field, 1978; Kadam dkk., 1982; Fordam dkk., 1975 dan Sathe dkk., 1983). Namun penelitian mengenai perubahan protein terlarut selama perkecambahan biji wijen belum diteliti.
Response Surface Methodology (RSM) merupakan kumpulan teknik matematik dan statistik yang digunakan untuk modeling dan analisis permasalahan pada respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan bertujuan memperoleh optimasi respon (Montgomery, 2001). RSM merupakan teknik statistik digunakan untuk penelitian yang mempunyai proses komplek dan dipergunakan secara luas dalam penelitian teknologi pangan (Shieh dkk., 1996). Kecocokan model orde dua Central Composite Design (CCD) banyak digunakan. Secara umum, CCD mempunyai faktorial 2k dengan banyak data (nf), sumbu (2k), dan pusat (nc). CCD sangat efisien untuk kecocokan model orde dua. Dua parameter dalam spesifik design adalah jarak sumbu  yang dijalankan dari pusat design dan jumlah titik pusat nc (Montgomery, 2001).
Biji wijen mempunyai kandungan nutrisi tinggi yang selama ini belum banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki nilai gizi pada olahan makanan atau pemanfaatan pada bioindustri. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari perubahan protein terlarut pada kondisi perkecambahan (lama perendaman, pH perendaman dan lama perkecambahan) dengan menggunakan Response Surface Methodology (RSM). RSM menggunakan kecocokan model CCD. Kondisi optimasi menggunakan D-optimaly.

METODA PENELITIAN

Bahan dan Alat
Biji wijen (Sesamun indicum L.) diperoleh di Wonosari,Yogyakarta. Bahan kimia yang digunakan diperoleh dari agen-agen bahan kimia di Yogyakarta yang semuanya “analytical grade”. Bahan kimia standar dengan kemurnian sangat tinggi yang digunakan dalam penelitian yang tidak tersedia di pasaran dalam negeri, akan dipesan dari Sigma Co., St. Louis, MO, USA. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Waring blender (National), pH meter (TOA HM 605), magnetic stirrer, sentrifuge, waterbath, vortex, kain katun tipis, neraca analitik (Sartorius), spektrofotometer dan nampan.

Jalan Penelitian
Perkecambahan biji dilakukan dengan metode Abigor dkk. (2002) yang telah dimodifikasi. Biji direndam dalam larutan dengan variasi pH dan waktu yang telah ditentukan, dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan fungisida (1 ml/l air destilasi) selama 10 menit. Biji dihamparkan di atas lembaran kertas dalam nampan yang berisi pasir steril pada suhu kamar (30 C). Aktivitas lipase kecambah biji dianalisa sebagai fungsi dari waktu perkecambahan. Hari pertama perkecambahan dianggap sebagai hari pertama perkecambahan.
Analisa protein terlarut dengan metode Lowry-Folin, kadar protein dengan metode Mikro Kjeldahl (Sudarmadji dkk., 1984) dan Kadar air dengan cara pemanasan (Sudarmadji dkk., 1984)

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan menggunakan kecocokan model CCD dengan 3 faktor, masing-masing faktor terdiri dari 5 level, dan 6 titik pusat (Montgomery, 2001). Percobaan dilakukan dengan dua kali ulangan. Tabel 1 menunjukkan rancangan percobaan penelitian dengan pengkodean dan tanpa pengkodean menggunakan kecocokan model CCD.

Tabel 1. RSM dengan kecocokan model CCD pada kondisi perkecambahan biji wijen
Perlakuan Satuan Level
- -1 0 1 
Lama perkecambahan (X1) Jam 9,1 20 36 52 62,9
Lama perendaman (X2) Menit 49,5 70 100 130 150,5
pH perendaman (X3) - 2,6 4 6 8 9,4
Analisis data
Perhitungan optimasi aktivitas esterifikasi kecambah biji kacang tanah terhadap pengaruh pH, lama perendaman dan lama perkecambahan menggunakan RSM dengan kecocokan model CCD. Persamaan RSM menggunakan orde dua yaitu

Y = 0 + iXi + ii X + ijXiXj + (1)

Dimana Y adalah respon (aktivitas esterifikasi lipase). 0 adalah konstanta. i, ii, ij adalah koefesien dari variabel bebas (X). X adalah variabel bebas dengan tanpa kode (lama perkecambahan (X1) level 20, 36 dan 52 Jam; lama perendaman (X2) level 70, 100 dan 130 menit; pH (X3) level 4, 6, dan 8).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Protein Terlarut Biji Wijen
Biji wijen setelah mengalami beberapa tahapan proses perkecambahan, kecambah biji mempunyai protein terlarut rata-rata 6,58 % berat basah. Protein terlarut kecambah biji paling besar pada perlakuan lama perkecambahan 52 jam, lama perendaman 70 menit dan pH 8 yaitu sebesar 9,32 % berat basah, dan paling rendah 3,01 % berat basah pada perlakuan lama perkecambahan 36 jam, lama perendaman 100 menit pada pH perendaman 6.

Pesamaan RSM
Analisa statistik dengan menggunakan RSM dengan kecocokan model CCD diperoleh persamaan:
Y = 37,76 – 0.611 X1 – 0,256 X2 – 3,185 X3 + 0,004 X12 + 0,001 X22 + 0,201 X32 + 0,001 X1X2 + 0,034 X1X3 – 0,003 X2X3
Persamaan RSM menunjukkan bahwa perubahan pH mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap hasil protein terlarut. Hal ini dilihat dari koefesien pH (X3) yang mempunyai nilai terbesar diikuti oleh perkecambahan (X2) dan perendaman (X3). Kelarutan protein lebih banyak dipengaruhi oleh adanya perubahan pH dibandingkan pengaruh perkecambahan maupun perendaman pada biji.
Perhitungan statistik menunjukkan bahwa R2 = 82,6 %, dengan demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa 82,6% merupakan pengaruh dari faktor-faktor perlakuan dan 17,6 % berasal dari factor-faktor di luar perlakuan yang diamati.
Hasil sidik ragam diperoleh nilai peluang P (0,000) < P(0,01) untuk orde pertama dan orde dua, dengan demikian bahwa penggunaan persamaan orde dua RSM adalah sangat signifikan. Pengujian untuk ketidak cocokan model yang diperoleh adalah P > 0,01 berarti ketidak cocokan model order dua di tolak. Dengan demikian persamaan model orde dua yang ditunjukkan di atas adalah valid. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan RSM tersebut dapat untuk memprediksikan respon, karena untuk mengetahui bahwa suatu persamaan RSM valid atau tidak yang sangat menentukan adalah nilai dari pengujin regresi dan lack-of-Fit dari data tersebut.

Grafik Respon Surface, Countour Plot dan D-Optimally
Hasil grafik counter dan respon dari RSM dapat dilihat pada gambar 1 yang memperlihatkan pada masing-masing perlakuan.
A.




B.



C.



Gambar 1. Response surface dan countour plot protein terlarut dari ekstrak kecambah biji wijen
Gambar 1 menunjukkan bahwa grafik response surface dan counter plot mempunyai bentuk minimum. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan orde dua dari RSM mempunyai nilai minimum pada masing-masing perlakuan yaitu lama perkecambahan, lama perendaman dan pH perendaman. Nilai minimum diperoleh pada kondisi masing-masing perlakuan pada level 0.
Gambar 1A, menunjukkan bahwa protein terlarut mencapai minium pada lama perendaman mendekati 100 menit, lama perkecambahan 36 jam dan pH perendaman tetap 6. Hal ini kemungkinan disebabkan pada awal pertumbuhan biji wijen memerlukan energi yang sangat besar untuk proses pertumbuhan. Untuk memenuhi kebutuhan energi ini digunakan protein setelah cadangan karbohidrat menipis. Protein dirombak oleh enzim proteolitik menghasilkan campuran asam-asam amino bebas dan bersama dengan amida-amida dari asam glutamat dan aspartat, senyawa-senyawa ini terutama dalam bentuk amidanya ditranslokasikan ke embrio. Disamping itu asam-asam amino triptofan yang merupakan hasil perombakan protein dari sel-sel penyimpanan dalam titik-titik tumbuh embrio diubah menjadi Indole Acetic Acid (IAA) yang menstimulir pertumbuhan (Sutopo, 2002). Protein terbentuk kembali setelah kebutuhan energi untuk pertumbuhan terpenuhi sebagai cadangan makanan yang digunakan untuk membesarkan diri dan untuk proses respirasi selanjutnya pada saat diperlukan untuk berkembang. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan protein terlarut meningkat kembali setelah lama perkecambahan 36 jam.
Gambar 1B, menunjukkan bahwa protein terlarut mencapai minimum pada lama perkecambahan 36 jam, pH perendaman 6 dan lama perendaman tetap 100 menit. Protein terlarut cenderung menurun dengan meningkatnya lama perkecambahan pada pH rendah dan cenderung meningkat pada pH tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan pada pH rendah enzim proteolitik lebih aktif dalam proses perombakan protein, sehingga pada pH rendah protein lebih banyak digunakan untuk kebutuhan energi. Pada pH tinggi enzim proteolitik tidak terlalu aktif, sehingga pada pH tinggi protein tidak banyak dirombak dan kemungkinan pada pH tinggi ini terjadinya pembentukan senyawa-senyawa protein yang digunakan sebagai cadangan makanan, hal ini yang menyebabkan protein terlarut cenderung tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan energi pertumbuhan pada pH tinggi kemungkinan enzim lipase yang lebih aktif memecah lemak dan enzim amilase untuk memecah karbohidrat sebagai energi pertumbuhan.
Gambar 1C, menunjukkan bahwa protein terlarut mencapai minimum pada pH perendaman 6, lama perendaman 100 menit dan lama perkecambahan tetap 36 jam. Derajat keasaman semakin meningkat pada lama perendaman 49,5 menit, protein terlarut cenderung meningkat tajam. Lama perendaman 49,5 menit menyebabkan kadar air rendah dalam biji wijen, hal ini kemungkinanan yang menyebabkan pada kadar air rendah enzim proteolitik lebih aktif pada pH rendah dibandingkan pada pH tinggi. Sehingga pada pH rendah lebih banyak protein yang dirombak untuk kebutuhan energi. Dan hal ini kemungkinanan menyebabkan protein terlarut rendah.
Hasil minimal protein terlarut digunakan pengujian menggunakan metode D-optimally yang diperlihatkan pada gambar 2. Dari hasil anlisis D-optimally diperoleh hasil minimal dari respon yaitu 4,54 % pada perkecambahan 36 jam, perendaman 100 menit dan pH 5,65.

KESIMPULAN

1. Perubahan protein terlarut biji wijen selama perkecambahan menggunakan RSM mempunyai bentuk minimum.
2. Pemanenan kecambah biji untuk memperoleh protein terlarut sebaiknya tidak dilakukan pada perkecambahan 36 jam, perendaman 100 menit dan pH 5,65.



DAFTAR PUSTAKA

Abigor, R.D., P.O.Uadia., T.A. Foglia, M.J, Hass, K. Scott dan B.J. Savary.2002. Partial and Properties of Lipase from Germaning Seeds of Jatropha curcas L. J. Am Oil.Chem.Soc., 79:1123-1126.
Chang, K.C. dan Harrold, R.L. 1988. Change in Selected Biochemical Components, In Vitro Protein Digestibility and Amino Acids in Two Bean Cultivars During Germination. J. Food Sci., 53:783-787.
Fordham, J.R., Weels, C.E. dan Chen, L.H. Sprouting of Seeds and Nutrient Composition of Seeds and Sprouts. J. Food Sci., 40:552-556.
Harrison, J.E dan Vanderstoep. 1984. Effect of Germination Environment on Nutrient Composition of Alfalfa Sprouts. J. Food Sci., 49:21-23.
King, R.D. dan Puswastien, P. 1987. Effects of Gemination on the Proximate composition and Nutritional Quality of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus). J. Food Sci., 52: 106-108.
Kadam, S.S., Kute, L.S., Lawande, K.M. dan Salunkhe, D.K. 1982. Change in Chemical Composition of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus) during seed Development. J. Food Sci., 47: 2051-2057.
Montgomery, D.C.2001. Design and Analysis of Experiments.John Wiley & Sons, Inc. New York. pp. 427-510.
Sathe, S.K., Deshpande, S.S., Reddy, N.R., Goll, D.E. dan Salunkhe, D.K. 1983. Efeects of Germination on Proteins, Raffinose Oligosccaharides, and Antinutritional in the Northern Beans (Phoseolus Vulgaris L.). J. Food Sci. 48:1796-1800.
Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi.1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Soetopo, L.2002. Teknologi Benih. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal:21-56.
Wang, Y.D. dan Field, M.L. 1978. Germination of Corn and Sorghum in The Home to Improve Nitritive Value. J. Food Sci., 43:1113-1115.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites