This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 30 September 2011

  1. Definisi
Tetanus (rahang terkunci (lockjaw) adalah penyakit akut, paralitik spatik yang disebabkan oleh tetanospasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani

  1. Etiologi
Clostridium Tetani adalah obligat anaerob pembentuk spora. Gram positif, bergerak, yang tempat tinggal (habitat) alamiahnya di seluruh dunia yaitu ditanah, debu dan saluran pencernaan berbagai binatang. Spora tetanus dapat bertahan hidup dalam atmosphere mendidih tetapi tidak didalam autoklaf, tetapi sel vegetatif terbunuh oleh antibiotik, panas dan desinfektan baku. Clostridium Tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui pengaruh toksin tunggal, tetanospasmin yang lebih sering disebut sebagai toksin tetanus. Toksin tetanus adalah bahan kedua yang pale beracun yang diketahui, hanya diunggulikekuatannya oleh toksin botulinum, dosis letal toksin tetanus diperkirakan 10-6­ mg/kg

  1. Epidemiologi
Tetanus terjadi diseluruh dunia dan endemik pada 90 negara yang sedang berkembang, tetapi insidennya sangat bervariasi. Bentuk yang pale sering, tetanus neonatorum (umbilikus), membunuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi setiap tahun karena ibu tidak terimunisasi. Lebih dari 70% kematian ini terjadi pada sekitar 10 negara Asia dan Afrika tropis. Lagi pula, diperkirakan 15.000 – 30.000 wanita yang tidak terimunisasi diseluruh dunia meninggal setiap tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari infeksi dengan Clostridium Tetani luka pascapartus, pascaabortus, atau pasca bedah.
Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas traumatis, sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril, tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma. Tetanus pasca injeksi atau obat terlarang menjadi lebih sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses (termasuk abses gigi), perlubangan cuping telinga, ulkus kulit kronis, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin (frosbite), gangren, pembedahan usus, goresan-goresan upacara, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkontaminasi atau sesudah injeksi intramuskuler obat-obata, pale menonjol kini untuk malaria falsiparum resisten-kloroquin.

  1. Patogenesis
Tetanus terjadi setelah pemasukan spora yang sedang tumbuh, memperbanyak diri dan menghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tampak jelas yang terinfeksi­­­­. Plasmid membawa gena toksin, toksin dilepaskan bersama dengan sel bakteri vegetatif yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin botulinum) adalah protein sederhana 150 kD yang terdiri atas rantai berat (100 kD) dan ringan (50 kD) yang digabung oleh ikatan fisulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuskuler dan kemudian diendoksitosis oleh saraf motoris, sesudahnya ia menglami pengangkutan akson retrograd ke sitoplasmin motoneoron-alfa. Pada syaraf stiatika kecepatan pengangkutan ternyata 3,4 mm/jam. Toksin keluar motoneuron dlam medula spinalis dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal, dimana toksin ini menghalangi pelepasan neurotransmiter. Toksin tetanus dengan demikian memblokade hambatan normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan di sengaja yang terkoordinasi. Akibatnya, otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya. Sistem saraf autonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.
Kekuatan toksin tetanus yang luar biasa adalah bersifat enzimatik. Rantai ringan toksin tetanus (dan beberapa dari toksin botulinum) adalah Zn2+ yang mengandung endoprotease yang substratnya adalah sinaptobrevin, suatu unsur pokok protein kompleks yang berkaitan yang memberi kesempatan vesikula sinaptik berfungsi dengan membran sel terminal. Rantai berat toksin mengandung daerah (dominan) pengikat.

  1. Patologi
Clostridium Tetani bukan organisme infasif dan sel vegetatif penghasil toksinnya tetap ditempat dimana ia masuk ke dalam luka, yang mungkin menampakkan atau tidak menampakan perubahan-perubahan lokal dan tercampur flora infeksius.

  1. Manifestasi Klinis
Tetanus mungkin terlokalisasi atau menyeluruh, yang terakhir ini lebih lazim. Priode inkubasi khas 2-14 hari, tetapi dapat selama berbulan-bulan sesudah jejas. Pada tetanus menyeluruh, trismus (spasme muskulus maseter atau “rahang terkunci”) merupakan gejala yang ada pada sekitar 50% kasus. Nyeri kepala,gelisah, dan iritabilitas merupakan gejala awal, sering disertai oleh kekakuan, sukar mengunyah, disfagia dan spasme otot leher.
Tetanus neonatus (tetanus neonatorum), bentuk infertil tetanus generalisata, khas nampak dalam 3-12 hari kelahiran sebagai makin sukar dalam pemberian makanan (yaitu, mengisap dan menelan), dengan disertai lapar dan menangis. Paralisis atau kehilangan gerakan, kekakuan pada sentuhan, dan spasme, dengan atau tanpa opistotonus, menandai penyakit. Sisa umbilikus dapat menahan sisa-sisa kotoran, kotoran sapi, darah beku atau serum, atau ia dapat tampak relatif benigna.
Tetanus terlokalisasi mengakibatkan spasme otot dekat tempat luka, nyeri dan dapat mendahului tetanus generalisata. Tetanus sefalika merupakan bentuk jarang tetanus terlokalisasi melibatkan muskulatur bulbar y ang terjadi akibat luka atau hook asing di kepala, lubang hidung, atau muka. Ia juga terjadi bersama dengan otitis media kronis. Tetanus sefalika ditandai oleh kelopak mata yang retraksi, penglihatan menyimpang, trismus, risus sardonikus, dan paralisis spatik otot lidah dan faring.

  1. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Gambaran tetanus merupakan salah satu gambaran yang pale dramatis dalam kedokteran, dan diagnosis dapat dibuat secara klinis. Kelompok khas adalah penderita yang tidak terimunisasi (dan/ atau ibu) yang terjejas atau dilahirkan dalam 2 minggu sebelumnya dan yang datang dengan trismus, otot-otot kaku yang lain, dan sensorium yang tidak terganggu.

VIRUS PENYEBAB

Virus influensa adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang,

merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah lipatan tersegmentasi

sampai mencapai delapan lipatan, dan berpolaritas negatif. Virus influensa

merupakan nama generik dalam keluarga
Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan

dalam tipe A, B atau C berdasarkan perbedaan sifat antigenik dari
nucleoprotein

dan matrix proteinnya. Virus influensa unggas (
Avian Influenza Viruses, AIV)

termasuk tipe A. Telaahan yang sangat bagus mengenai struktur dan pola replikasi

virus-virus influensa sudah dipublikasikan baru-baru ini (mis. Sidoronko dan Reichi

2005).

Determinan antigenik utama dari virus influensa A dan B adalah

glikoprotein transmembran hemaglutinin (H atau HA) dan neuroaminidase (N atau

NA), yang mampu memicu terjadinya respons imun dan respons yang spesifik

terhadap subtipe virus. Respons in sepenuhnya bersifat protektif di dalam, tetapi

4 FLU BURUNG

bersifat protektif parsial pada lintas, subtipe yang berbeda. Berdasarkan sifat

antigenisitas dari glikoprotein-glikoprotein tersebut, saat ini virus influensa

dikelompokkan ke dalam enambelas subtipe H (H1-H16) dan sembilan N (N1-N9).

Kelompok-kelompok tersebut ditetapkan ketika dilakukan analisis filogenetik

terhadap nukleotida dan penetapan urutan (
sequences) gen-gen HA dan NA melalui

cara deduksi asam amino (Fouchier 2005).

Cara pemberian nama yang sesuai nomenklatur konvensional untuk isolat

virus influensa harus mengesankan tipe virus influensa tersebut, spesies penjamu

(tidak perlu disebut kalau berasal dari manusia), lokasi geografis, nomor seri, dan

tahun isolasi. Untuk virus influensa tipe A, subtipe hemaglutinin dan

neuroamidasenya ditulis dalam kurung. Salah satu induk strain virus influensa

unggas dalam wabah H5N1 garis Asia yang terjadi akhir-akhir ini, berhasil

diisolasikan dari seekor angsa dari provinsi Guangdong, China. Oleh karena itu ia

diberi nama A/angsa/Guangdong/1/96 (H5N1) (Xu 1999). Sedangkan isolat yang

berasal dari kasus infeksi H5N1 garis Asia pada manusia yang pertama kali

terdokumentasikan terjadi di Hong Kong (Claas 1998), dan dengan demikian

disebut sebagai A/HK/156/97 (H5N1).

Hemaglutinin, sebuah protein yang mengalami glikosilasi dan asilasi

(
glycosylated and acylated protein) terdiri dari 562-566 asam amino yang terikat

salam sampul virus. Kepala membran distalnya yang berbentuk bulat, daerah

eskternal yang berbentuk seperti tombol dan berkaitan dengan kemampuannya

melekat pada reseptor sel, terdiri dari oligosakharida yang menyalurkan derivat

asam neuroaminic (Watowich 1994). Daerah eksternal (
exodomain) dari

glikoprotein transmembran yang kedua, neuroamidase (NA), melakukan aktivitas

ensimatik sialolitik (
sialolytic ensymatic activity) dan melepaskan progeni virus

yang terjebak di permukaan sel yang terinfeksi sewaktu dilepaskan. Fungsi ini

mencegah tertumpuknya virus dan mungkin juga memudahkan gerakan virus dalam

selaput lendir dari jaringan epitel yang menjadi sasaran. Selanjutnya virus pun akan

menempel ke sasaran (Matrosivich 2004a). Ini membuat neoroamidase merupakan

sasaran yang menarik bagi obat antivirus (Garman and Laver 2004). Kegiatan yang

terpadu dan terkoordinasi spesies glikoprotein antagonistik HA dan NA dari
strain

virus tertentu merupakan hal yang penting bagi proses pelekatan dan pelepasan

virion (Wagner 2002).

Pelekatan ke protein permukaan sel dari virion-virion virus influensa A

tercapai melalui glikoprotein HA virus tertrimerisasi yang matang (
mature

trimerised viral HA glycoprotein
). Stratifikasi pelekatan tersebut didasarkan pada

pengenalan spesies asam sialik (N-asetil- atau N-asam glikollineuraminat) ujung

akhir yang jelas, tipe hubungan glikosidik ke galaktosa paling ujung (
α2-3 atau α2-

6) dan susunan fragmen yang terletak lebih dalam dari sialil-oligosakharida yang

terdapat di permukaan sel (Herrier 1995, Gambaryan 2005). Sebuah varietas dari

sialil-oligosakharida yang lain diekspresikan dengan pembatasan (restriksi) ke

jaringan dan asal spesies di dalam penjamu lain dari virus influensa. Penyesuaian

(adaptasi) glikoprotein HA maupun NA virus ke jenis reseptor yang khas (spesifik)

dari spesies penjamu tertentu merupakan prasyarat bagi terjadinya replikasi yang

efisien (Ito 1999, Banks 2001, Mastrovich 1999+2001, Suzuki 2000, Gambaryan

2004). Ini berarti terjadi perubahan bentuk unit pengikat dari protein HA setelah

terhadi penularan antar spesies (Gambaryan 2006). Bagan mekanistik dari berbagai

tipe reseptor disajikan dalam Gambar 1. Virus influensa unggas biasanya

menunjukkan afinitas tinggi terhadap asam sialik yang terkaitkan dengan
α2-3

VIRUS PENYEBAB 5

karena unsur ini merupakan tipe reseptor yang paling dominan di jaringan epitel

endodermik (usus, paru-paru) pada unggas yang menjadi sasaran virus-virus

tersebut (Gambaryan 2005a, Kim 2005). Sebaliknya, virus influensa yang

beradaptasi pada manusia terutama mencapai residu terkait 2-6 (
2-6 linked

residues
) yang mendominasi sel-sel epitel tanpa silia (non-cilliated) dalam saluran

pernafasan manusia. Sifat-sidat dasar reseptor seperti ini menjelaskan sebagian dari

sistem pertahanan suatu spesies, yang membuat penularan influensa unggas ke

manusia tidak mudah terjadi (Suzuki 2000, Suzuki 2005). Tetapi akhir-akhir ini

ditemukan ada sejumlah sel epitel berbulu detar (
cilliated cells) dalam trakhea

manusia yang juga memiliki konjugat glikoprotein serupa reseptor unggas dengan

densitas yang rendah (Matrosovich 2004b), dan juga dijumpai adanya sel-sel ayam

yang membawa reseptor sialil yang serupa dengan yang ada pada manusia dengan

konsentrasi yang rendah (Kim 2005). Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa

manusia tidak sepenuhnya kebal terhadap infeksi virus influensa unggas
strain

tertentu (Beare and Webster 1991). Pada babi dan juga burung balam, kedua jenis

reseptor tersebut dijumpai dalam densitas yang lebih tinggi yang membuat kedua

hewan ini mempunyai potensi untuk menjadi tempat pencampuran bagi
strain virus

unggas dan manusia (Kida 1994, Ito 1998, Scholtissek 1998, Peiris 2001, Perez

2003, Wan and Perez 2005).

ayam, kuda, babi,

anjing laut, H5
HSO3 alfa 1,6_______

beta 1,2

N-acetyl-glucosamine

Fucose

alfa 1,3 beta 1,3

beta 1,4

bebek, unggas,

hewan lain

Galaktosa

unggas, manusia,

hewan lain

alfa 2,3

alfa 2,6

N-acetyl-neuraminic acid

mamalia, unggas

burung camar,

ayam (H7)

kuda, unggas H3,

H7

N-glykolyl-neuraminic acid

Gambar 1. Bagan sifat-sifat dasar reseptor virus influensa A (berdasarkan data Gambaryan

2005)

6 FLU BURUNG

Setelah berhasil melekat pada reseptor yang sesuai, virion masuk dan

menyatu ke dalam sebuah ruang endosom melalui mekanisme yang tergantung dan

tidak tergantung kepada
clathrin (Rust 2004). Dalam ruang ini virus tersbut

mengalami degradasi dengan cara menyatukan membran virus dengan membran

endosom: dimediasi oleh pemindahan proton melalui terowongan protein dari

matrix-2 (M2) virus, pada nilai pH di endosom sekitar 5,0. Selanjutnya akan terjadi

serangkaian penataan ulang protein matrix-1 (M1) dan kompleks glikoprotein

homotrimerik HA. Sebagai hasilnya, terbuka (
exposed) sebuah bidang (domain)

yang sangat lipofilik dan fusogenik dari setiap monomer HA yang masuk ke dalam

membran endolisomal, dan dengan demikian memulai terjadinya fusi antara

membran virus dengan membran lisomal (Haque 2005, Wagner 2005). Berikutnya,

kedelapan segmen RNA genomik dari virus, yang terbungkus dalam lapisan

pelindung dari protein (
ribonucleoprotein complex, RNP) nukleokapsid (N),

dilepaskan ke dalam sitoplasma. Di sini mereka disalurkan ke nukleus untuk

melakukan transkripsi mRNA virus dan replikasi RNA genomik melalui proses

yang rumit yang secara cermat (Jw:
njlimet) diatur oleh faktor virus dan faktor sel

(Whitaker 1996). Polimerase yang dependen terhadap RNA (RdRp) dibentuk oleh

sebuah kompleks (gabungan) dari PB1, PB2 dan protein PA virus, dan memerlukan

RNA (RNP) yang terbungkus (
encapsidated RNA (RNPs)) untuk tugas ini. Setelah

terjadi translasi protein virus dan perangkaian nukleokapsid yang membawa RNA

genomik yang sudah ter-replikasi, virion-virion progeni tumbuh dari membran sel

yang di dalamnya sudah dimasukkan glikoprotein virus sebelumnya. Penataan

antara nukleokapsid berbentuk lonjong dan protein pembungkus virus dimediasi

oleh protein matrix-1 virus (M1) yang membentuk struktur serupa cangkang tepat

di bawah pembungkus virus. Reproduksi virus di dalam sel yang mudah

menerimanya berlangsung cepat (kurang dari sepuluh jam) dan dengan proses yang

efisien, asalkan konstelasi gen yang “optimal” tersedia di sana (Rott 1979,

Neumann 2004).

Akibat aktivitas RdRp virus yang mudah mengalami kekeliruan, terjadi

mutasi dengan kecepatan tinggi, yaitu > 5 x 10
-5 perubahan nukleotida per

nukleotida dan juga terjadi percepatan siklus replikasi. Dengan demikian terjadi

hampir satu pertukaran nukleotida per genom per replikasi di antara virus-virus

influensa (Drake 1993). Kalau ada tekanan selektif (misalnya antibodi yeng

mentralkan, ikatan reseptor yang tidak optimal, atau obat antiviral) yang bekerja

selama proses replikasi virus dalam penjamu atau dalam populasi, dapat terjadi ada

mutan-mutan dengan keunggulan selektif (mis. lepas dari proses netralisasi,

membentuk unit pengikat reseptor baru) dan kemudian menjadi varian yang

dominan dalam
quasi-spesies virus di dalam tubuh penjamu atau dalam populasi.

Jika determinan antigenik dari glikoprotein HA dan NA membran dipengaruhi oleh

mekanisme yang dipicu kekebalan, proses (gradual) tersebut disebut sebagai

antigenic drift
(Fergusson 2003).

Sebaliknya,
antigenic shift menunjukkan adanya perubahan mendadak dan

mendalam dalam determinan antigenik, yaitu pertukaran subtipe H dan/atau N, di

dalam satu siklus tunggal replikasi. Hal ini terjadi dalam sebuah sel yang secara

bersamaan terinfeksi oleh dua atau lebih virus influensa A dari subtipe yang

berbeda. Karena distribusi segmen genomik virus yang sudah ter-replikasi ke dalam

progeni yang baru tumbuh berlangsung tanpa tergantung kepada subtipe asal dari

tiap segmen itu, dapat muncul progeni yang berkemampuan untuk bereplikasi yang

PENJAMU ALAMI 7

membawa informasi genetik dari virus induk yang berbeda-beda (disebut sebagai

reassortants
) (Webster and Hulse 2004, WHO 2005). Sementara virus penyebab

wabah influensa pada manusia yang terjadi di tahun 1957 (H2N2) dan 1968 (H3N2)

secara jelas muncul dari percampuran (
reassortment) antara virus manusia dan virus

unggas, virus penyebab “Flu Spanyol” di tahun 1918 semata-mata berasal dari

unggas (Belshe 2005).

PENJAMU ALAMI

Burung-burung air yang liar, terutama yang termasuk dalam orde
Anseriformis

(bebek dan angsa) dan
Charadiformis (burung camar dan burung-burung pantai),

adalah pembawa (
carrier) seluruh varietas subtipe dari virus influensa A, dan oleh

karenanya, sangat mungkin merupakan penampung (reservoir) alami untuk semua

jenis virus influensa (Webster 1992, Fouchier 2003, Krauss 2004, Widjaja 2004).

Sementara semua spesies burung dianggap sebagai rentan terinfeksi, beberapa

spesies unggas domestik – ayam, kalkun, balam, puyuh dan merak – diketahui

terutama rentan terhadap sekuele (lanjutan) dari infeksi virus influensa.

Virus-virus influensa A unggas biasanya tidak menimbulkan penyakit pada

penjamu alami mereka. Sebaliknya, virus-virus tersebut tetap dalam suatu keadaan

stasis yang evolusioner, yang secara molekuler ditandai dengan rendahnya rasio

mtasi N/S (
non synonymous vs. synonymous) yang menunjukkan adanya evolusi

pemurnian (Gorman 1992, Taubenberger 2005). Antara penjamu dengan virus

agaknya terjadi saling toleransi yang seimbang, yang secara klinis ditunjukkan

dengan tidak adanya penyakit dan replikasi virus secara efisien. Sejumlah besar

virus, sampai sebanyak 10
8,7x 50% dosis infektif (egg-infective dose) (EID50) per

gram tinja, dapat dikeluarkan (Webster 1978). Jika virus tersebut menular ke

spesies unggas yang rentan, dapat timbul gejala-gejala sakit yang – kalau ada --

biasanya bersifat ringan. Virus dari fenotipe seperti ini disebut sebagai

berpatogenisitas rendah (LPAIV) dan, pada umumnya, hanya mengakibatkan

terjadinya penurunan produksi telur yang bersifat ringan dan sementara dalam

unggas petelur, atau menurunkan penambahan berat badan dalam unggas pedaging

(Capua and Minelli 2001). Tetapi
strain-strain dari subtipe H5 dan H7 berpotensi

untuk mengalami mutasi menjadi bentuk yang sangat patogen setelah mengalami

perpindahan dan adaptasi terhadap penjamu yang baru. Kelahiran bentuk yang

sangat patogen dari H5 dan H7 atau subtipe yang lain tidak pernah dijumpai dalam

unggas liar (Webster 1998). Oleh karena itu, orang dapat mengambil kesimpulan

bahwa bentuk yang sangat patogen tersebut sebenarnya merupakan hasil perbuatan

manusia juga, akibat kelakukan manusia yang mempengaruhi keseimbangan sistem

alami.

Sekali fenotip HPAIV tumbuh dalam unggas domestik, mereka akan dapat

ditularkan secara horisontal dari unggas ternak kembali ke burung liar. Kerentanan

burung liar terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh HPAIV sangat bervariasi

tergantung kepada spesies dan umur unggas, serta
strain virusnya. Sampai pada

munculnya virus ganas (HPAIV) garis H5N1 di Asia, limpahan dari HPAIV ke

populasi burung liar hanya terjadi secara sporadik dan terbatas pada suatu daerah

saja, kecuali satu yaitu pada kematian sekelompok
sterna (sejenis camar) di Afrika

Selatan pada tahun 1961 (Becker 1966), sehingga sebegitu jauh unggas liar secara

epidemiologik tidak dianggap mempunyai peranan penting dalam penyebaran

HPAIV (Swayne and Suarez 2000). Pandangan ini kini berubah secara fundamental

8 FLU BURUNG

sejak awal 2005, ketika terjadi wabah virus ganas (HPAIV) yang terkait dengan

garis H5N1 Asia pada ribuan burung air di cagar alam Danau Qinghai di barat laut

China (Chen 2005, Lu 2005). Akibat kejadian ini, ditemukan adanya penyebaran

lebih lanjut ke arah Eropa selama tahun 2005 (OIE 2005). Rincian proses peristiwa

tersebut serta akibatnya digambarkan di bawah ini.

Gambar 2: Bagan patogenesis dan epidemiologi influensa unggas

LPAIV = Low Pathogenic Avian Influenza Virus (Virus influensa unggas berpatogenisitas

rendah); HPAIV = High Pathogenic Avian Inluenza Virus (Virus influensa unggas yang sangat

patogen); HA = protein hemagglutinin

Garis terputus-putus dengan panah menunjukkan penghalang (barrier) spesies

PATOGENESIS HPAI

Patogenesis sebagai sifat umum virus dalam virus influensa A merupakan bakat

pilogenik dan sangat tergantung kepada sebuah konstelasi gen yang ‘optimal’ yang

mempengaruhi antara lain tropisme (reaksi ke arah atau menjauhi stimulus) dari

jaringan dan penjamu, efektivitas replikasi dan mekanisme penghindaran imunitas

(
immune evasion mechanism). Selain itu faktor spesifik pada tiap spesies

berperanan juga terhadap hasil suatu infeksi, yang terjadi setelah penularan antar

spesies, dan karenanya tidak dapat diduga sebelumnya. Bentuk influensa unggas

yang sangat patogen sampai saat ini secara eksklusif ditimbulkan oleh subtipe H5

PATOGENESIS HPAI 9

dan H7. Tetapi dalam kenyataan hanya sebagian kecil subtipe H5 dan H7 yang

menunjukkan biotipe yang sangat patogen (Swayne and Suarez 2000). Biasanya

virus-virus H5 dan H7 bertahan stabil dalam penjamu alaminya dalam bentuk yang

berpatogenisitas rendah. Dari reservoir ini virus dapat ditularkan melalui berbagai

jalan (lihat bawah) ke kawanan unggas ternak. Setelah masa sirkulasi yang

bervariasi dan tidak pasti (dan barangkali juga beradaptasi) dalam populasi unggas

yang rentan, virus-virus tersebut dapat secara meloncat mengalami mutasi menjadi

bentuk yang sangat patogen (Rohm 1995).

Penelitian melalui pengurutan (
sequencing) nukleotida telah menunjukkan

bahwa sebagian besar HPAIV mempunyai kesamaan sifat dalam gen HA-nya yang

dapat bekerja, dalam unggas ternak, sebagai penanda keganasan (virulensi)

(Webster 1992, Senne 1996, Perdue 1997, Steinhauer 1999, Perdue and Suarez

2000).

Untuk mencapai infektivitas, virion influensa A harus menyatukan protein

HA yang telah mengalami proses endoproteolitik dari sebuah perkusor HA
0 ke

sebuah belahan HA
1,2 yasng terikat disulfida (Chen 1998). Ujung-N dari sub-unit

HA
2 yang baru saja terbentuk membawa peptida fusogenik, yang terdiri dari

kawasan (domain) yang sangat lipofilik (Skehel 2001). Domain ini sangat vital

diperlukan selama proses fusi antara membran virus dan membran lisomal karena ia

akan mengawali proses penetrasi segmen genomik virus ke dalam sitoplasma sel

penjamu. Tempat pembelahan HA dari virus berpatogenisitas rendah terdriri dari

dua asam amino esensial pada posisi -1/-4 (H5) dan -1/-3 (H7) (Wood 1993).

Tempat-tempat tersebut dapat dijangkau oleh protease serupa tripsin yang spesifik

untuk tiap jaringan yang terutama muncul di permukaan epitel saluran pernafasan

dan pencernaan. Oleh karena itu replikasi LPAIV yang paling efisien diyakini

terjadi di dua tempat tersebut, setidaknya di dalam tubuh penjamu alami mereka.

Sebaliknya tempat pembelahan virus HPAI biasanya mengandung asam amino

esensial tambahan (arginin dan/atau lysine) yang membuat ia dapat diproses untuk

menjadi protease serupa subtilisin yang spesifik untuk sekuensi konsensus minimal

dari –R-X-K/R-R (Horimoto 1994, Rott 1995). Protease jenis ini (mis. furin,

konvertase proprotein) terdapat aktif dalam praktis setiap jaringan di seluruh tubuh.

Oleh karena itu virus yang membawa mutasi-mutasi tersebut mempunyai kelebihan

dalam bereplikasi secara sistemik tanpa ada hambatan. Proses ini telah

didokumentasikan di lapangan pada beberapa kejadian. Di Itali, misalnya, sebuah

virus LPAI H7N1 telah beredar selama beberapa bulan dalam suatu populasi ayam

dan kalkun sebelum sebuah virus HPAI H7N1, yang terbedakan hanya dari

perkusornya pada tempat pembelahan polibasiknya, di bulan Desember 1999

muncul dan menyebabkan wabah yang menghancurkan (Capus 2000).

Telah menjadi hipotesis bahwa gen HA dari subtipe H5 dan H7

menampung struktur RNA sekunder yang jelas yang memudahkan terjadinya

mutasi insersional (
codon duplication) melalui mekanisme penyalinan ulang dari

unit polimerase virus pada bentangan sekuens yang kaya akan purin yang

mengubah kode tempat pembelahan endoproteolitik dari protein-protein HA

tersebut (Garcia 1996, Perdue 1997). Hal ini, dan barangkali juga mekanisme yang

lain, seperti misalnya substitusi nukleotida atau rekombinasi intersegmental (Suarez

2004, Pasick 2005), dapat mengakibatkan terjadinya penyatuan residu asam amino

esensial tambahan. Yang terakhir itu sudah dibuktikan secara eksperimental melalui

pembentukan HPAIV dari perkusor-perkusor LPAIV setelah terjadi penyaluran

berulang baik secara
in vitro maupun in vivo dengan cara mutagenesis yang

10 FLU BURUNG

diarahkan (
site-directed mutagenesis) ( Li 1990, Walker and Kawaoka 1993,

Horimoto and Kawaoka 1995, Ito 2001). Sebaliknya, pembuangan tempat

pembelahan polibasik melalui
reverse genetics memperkuat fenotipe HPAI (Tian

2005).

Tetapi ada juga
strain virus yang antara kode sekuensi nukleotida pada

tempat pembelahan HA dan feno-/patotipe-nya tidak cocok seperti seperti yang

telah diperkirakan: sebuah H7N3 HPAIV dari Chile yang muncul melalui

rekombinasi intersegmental menunjukkan residu asam amino esensial hanya pada

posisi -1, -4 dan -6 (Suarez 2004). Contoh-contoh yang setara juga terdapat pada

vitus garis H5 (Kawaoka 1984). Di sisi lain, sebuah isolat H5N2 dari Texas terbukti

membawa sekuensi konsensus tempat pembelahan HPAIV, tetapi secara klinis

dikjlasifikasikan sebagai LPAI (Lee 2005). Data-data tersebut menekankan kembali

sifat poligenik dan rumnit dari patogenisitas virus influensa.

Untunglah bahwa kelahiran fenotipe HPAI di lapangan nampaknya

merupakan hal yang jarang terjadi. Selama jangka waktu limapuluh tahun terakhir,

di seluruh dunia hanya terjadi sebanyak 24 kali wabah HPAI primer yang

diakibatkan oleh HPAIV, yang agaknya secara
de novo muncvul dengan cara

demikian (Tabel 1).

Lebih dari itu, HPAIV terbukti dapat menginfeksi mamalia, dan khususnya

manusia. Hal ini terutama nampak pada H5N1 garis Asia (WHO 2005).

Patogenisitas yang tergantung pada penjamu dari HPAIV H5N1 terhadap mamalia

telah diteliti pada beberapa spesies model: tikus (Lu 1999, Li 2005a),
ferret (sejenis

kucing pemburu) (Zitzow 2002, Govorkova 2005), monyet
cynomolgous (monyet

pemakan kepiting) (Rimmelzwaan 2001) dan babi (Choi 2005). Hasil infeksinya

tergantung pada
strain virus dan spesies penjamu. Ferret menunjukkan

patogenisitas serupa pada manusia secara lebih baik dibanding dengan tikus

(Maines 2005).

Sejumlah penanda genetik yang diyakini terlibat dalam patogenisitas telah

ditemukan pada berbagai segmen dari genotipe Z pada H5N1 (Tabel 2). Di

antaranya yang banyak menarik perhatian adalah mekanisme interferensi dengan

mekanisme pertahanan dari penjamu, misalnya sistem inteferon, melalui produk

gen NS-1. Secara eksperimental telah dibuktikan melalui
reverse genetics bahwa

protein NS-1 dari beberapa
strain H5N1 yang membawa asam glutamat pada posisi

92 mampu menghindari efek antivirus dari interferon dan faktor-alfa nekrosis

tumor, yang pada akhirnya menuju ke replikasi yang diperkuat dalam, dan

terkuranginya pembuangan dari, penjamu yang terinfeksi (Seo 2002+2004). Selain

itu, kerusakan yang dimediasi kekebalan (
immune-mediated damage) yang

diakibatkan oleh gangguan yang termediasi NS-1 dari jaringan sitokin, ikut

berperanan terhadap sebagian dari kerusakan paru-paru (Cheung 2002, Lipatov

2005). Tetapi tidak satupun dari mutasi tersebut (Tabel 2) yang merepresentasikan

persyaratan yang sebenarnya untuk timbulnya patogenisitas pada mamalia (Lipatov

2004). Oleh karena itu konstelasi gen yang optimal, sampai batas tertentu, agaknya

telah mendorong kespesifikan patotipe melalui cara yang tergantung pada penjamu

(
host-dependent) dalam mamalia (Lipatov 2004).

PATOGENESIS HPAI 11

Tabel 2. Sepintas tentang lokus genomik yang dilaporkan terlibat dalam peningkatan

patogenisitas virus virus H5N1 garis Asia yang sangat patogen pada mamalia.

virus H5N1 garis Asia yang sangat patogen pada mamalia.

Gen,

Protein

Mutasi Efek Rujukan

HA Tempat

pembelaahan

polybasic

endo-proteolytic

Menguntungkan untuk

penyebaran sistemik

dan replikasi (unggas

ternak, mamalia)

Berbagai rujukan

NA Penghapusan 19-

25 aa pada daerah

tangkai (stalk

region)

Adaptasi

pertumbuhan dalam

ayam dan kalkun (?)

Matrosovich 1999,

Giannecchini 2006

PB2 627K

701N

Replikasi sistemik

yang diperkuat dalam

tikus

Patogenisitas

meningkat dalam

tikus

Mastrosovich 1999,

Giannecchini 2006

Li 2005

PB-1 13P, 678N

NP 319K

Aktivitas polimertase

meningkat:

menguntungkan untuk

proses awal adaptasi

yang spesifik untuk

spesies?

Gabriel 2005

NS-1 92E Mempermudah

terlepasnya respon

immun yang ada,

terkuranginya

pembuangan virus

pada babi

Seo 2004

GAMBARAN KLINIS

Setelah masa tunas yang biasanya berlangsung selama beberapa hari (jarang sampai

21 hari), tergantung pada karakteristik isolat, dosis inokulum, spesies, dan usia

unggas, gambaran klinis influensa unggas pada burung bervariasi dan gejalanya

sering tidak spesifik (Elbers 2005). Oleh karena itu tidak mungkin untuk

menegakkan diagnosis hanya berdasarkan ganbaran klinis.

Gejala-gejala yang terjadi setelah terinfeksi oleh AIV berpatogenesis

rendah mungkin tidak terlalu jelas, seperti bulu-bulu yang kusut, produksi telur

yang secara transien menurun atau berat badan menurun yang disertai sedikit

gangguan pernafasan (Capua and Mutinelli 2001). Beberapa
strain berpatogenesis

rendah (LP) seperti misalnya
strain H9N2 dari garis Asia, teradaptasi sehingga

menghasilkan replikasi yang efisien dalam unggas ternak, dapat menimbulkan

gejala-gejala yang lebih nyata dan juga mengakibatkan kematian secara signifikan

(Bano 2003, Li 2005).

Dalam bentuknya yang sangat patogen, penyakit yang terjadi pada ayam

dan kalkun ditandai dengan serangan yang mendadak dengan gejala yang hebat

serta kematian yang mendekati 100% dalam jangka waktu 48 jam (Swayne and

Suarez 2000). Penyebaran dalam kelompok tergantung bentuk pemeliharaan: dalam

12 FLU BURUNG

kelompok yang dilepas di tempat yang kotor dan terjadi hubungan langsung serta

percampuran dengan hewan lain, penyebaran infeksi berlangsung lebih cepat

daripada yang dipelihara dalam kandang, tetapi masih juga diperlukan beberapa

hari untuk terjadinya penularan yang sempurna (Capua 2000). Seringkali hanya

sebagian kandang saja yang terkena. Banyak unggas yang mati tanpa gejala-gejala

awal sehingga kadang-kadang pada mulanya orang menduga telah terjadi keracunan

(Nakatami 2005). Patut dicatat bahwa satu isolat virus HPAI tertentu dapat

menyebabkan penyakit yang serius pada satu spesies unggas tertentu tetapi tidak

pada spesies yang lain: pada pasar unggas hidup di Hong Kong sebelum terjadi

pemusnahan di tahun 1997, 20% dari ayam terkena tetapi hanya 2,5% bebek dan

angsa yang mengidap HPAIV H5N1 sedangkan spesies ayam yang lain, betet dan

kakatua tidak dijumpai adanya virus pada pemeriksaan dan hanya ayam yang

menunjukkan gejala-gejala klinis (Shortridge 1998).

Dalam perusahaan peternakan unggas yang besar, terjadinya penurunan

konsumsi air dan makanan yang progresif dan dalam waktu singkat, dapat menjadi

tanda akan adanya penyakit sistemik pada kawanan unggas ternak. Pada unggas

petelur, terhentinya produksi telur sangat nyata. Secara individual, unggas yang

terkena HPAI sering hanya menunjukkan apati dan tidak banyak bergerak

(imobilitas) (Kwon 2005). Pembengkakan nampak pada daerah kepala yang tidak

ditumbuhi bulu, terjadi sianosis pada jengger, gelambir dan kaki, diare dengan

kotoran berwarna kehijauan, dan nampak susah bernafas, dapat dijumpai meskipun

tidak selalu (inkonsisten). Pada unggas petelur, pada mulanya telur yang dihasilkan

berkulit lembek, tetapi kemudian produksi telur berhenti secara cepat sejalan

dengan perkembangan penyakit (Elbers 2005). Gejala-gejala sistem saraf termasuk

tremaor, tortikolis, dan ataxia mendominasi gam,baran klinis pada spesies yang

tidak begitu rentan seperti bebek, angas, dan jenis burung onta (Kwon 2005).

Sewaktu terjadi wabah HPAI di Saxonia, Jerman, pada tahun 1979, nampak angsaangsa

berenang berputar-putar dalam lingkaran yang sempit secara kompulsif di

kolam. Ini merupakan tanda-tanda pertama yang nampak nyata yang membuat

orang mencurigai adanya HPAI (influensa unggas yang sangat patogen).

Gambaran klinis infeksi influensa unggas pada manusia akan dibahas

secara rinci dalam bab yang berjudul ‘Gambaran Klinis Influensa Manusia’,

PATOLOGI

LPAI (Influensa Unggas Patogenisitas Rendah)

Kerusakan jaringan (lesi) yang teerjadi bervariasi tergantung kepada
strain virus

dan spesies serta umur penjamu. Pada umumnya, hanya kalkun dan ayam yang

menunjukkan terjadinya perubahan mikroskopik yang besar terutama dengan
strain

yang sudah beradaptasi dengan penjamu ini (capua and Mutinelli 2001). Pada

kalkun, terjadi sinusitis, trakheitis dan aisacculitis, meskipun kemungkinan ada juga

peranan infeksi bakteri sekunder. Pernah juga dilaporkan terjadinya pankreatitis

pada kalkun. Pada ayam, yang paling sering dijumpai adalah radang ringan di

saluran pernafasan. Selain itu, lesi juga terjadi pada organ reproduktif

(ovarium,saluran telur, peritonitis kuning telur) dari unggas petelur.

DIAGNOSIS DIFERENSIAL 13

HPAI (Influensa Unggas Patogenisitas Tinggi)

Perubahan patologik dan histopatologik yang hebat pada HPAI menunjukkan

ketergantungan yang serupa dengan yang nampak pada gambaran klinis. Ada empat

kelas perubahan patologik yang dipostulasikan (Perkins and Swayne 2003).

(i) Bentuk perakut (kematian terjadi dalam waktu 24-36 jam setelah infeksi,

terutama terlihat pada beberapa spesies galliformis) dan akut dari penyakit ini tidak

menunjukkan terjadinya perubahan patologik yang besar; terjadi hidroperikardium

yang tidak jela, kongesti usus yang ringan dan adakalanya dijumpai perdarahan

petekhial pada selaput serosa mesenteri dan perikardium meskipun tidak selalu

(Mutinelli 2003a, Jones and Swayne 2004). Ayam yang terinfeksi oleh H5N1 garis

Asia adakalanya menunjukkan adanya bercak-bercak hemorrhagik dan dijumpai

lendir di trakhea dalam jumlah yang signifikan (Elbers 2004). Dapat juga dijumpai

pembengkakan serosa (
serous exudation) dalam rongga-rongga tubuh dan paruparu.

Bintik-bintik perdarahan di mukosa proventrikulus, yang sering disebut-sebut

dalam buku teks di masa lalu, secara khusus dijumpai pada unggas yang terinfeksi

H5N1 garis Asia (Elbers 2004). Berbagai lesi nhistologik bersama-sama dengan

antigen virus dapat dideteksi di berbagai organ (Mo 1997). Pertama-tama virus

ditemukan di sel endotelial. Berikutnya sel-sel yang terinfeksi oleh virus dijumpai

di myokardium, kelenjar adrenal dan pankreas. Neuron dan juga sel glia di otak

juga terinfeksi. Secara patogenesis, diduga perjalanan penyakitnya serupa dengan

infeksi virus endoteliotropik lainnya, ketika aktivasi leukosit dan endotel

mengakibatkan pelepasan sitokin secara sistemik dan tidak terkoordinasi dan

menjadi predisposisi kegagalan jantung-paru dan kegagalan multiorgan (Feldmann

2000, Klenk 2005).

(ii) Pada hewan yang gejala-gejala awal muncul sangat lambat dan penyakit

berlangsung lama, gejala-gejala neirologik dan, secara histologik, terjadi lesi nonsuppuratif

di otak mendominasi gambaran klinis (Perkins and Swayne 2002a, Kwon

2005). Tetapi virus juga dapat ditemukan pada organ-organ lainnya. Perjalanan

penyakit semacam ini pernah diuraikan terjadi pada angsa, bebek, emu dan spesies

lain yang secara eksperimental diinfeksi dengan HPAI
strain H5N1 garis Asia.

Pada unggas petelur, peradangan dapat ditemukan di kandung telur, saluran telur,

dan setelah folikel pecah, terjadi peradangan yang disebut sebagai peritonitis

kuning telur.

(iii) Pada bebek, burung camar dan burung gereja, dijumpai replikasi virus yang

terbatas. Unggas-unggas ini menunjukkan terjadinya penumonia interstisial yang

ringan, radang kantung udara dan adakalanya miokarditis limfositik dan histiositik

(Perkins and Swayne 2002a, 2003).

(iv) Dalam percobaan yang dilaporkan oleh Perkins dan Swayne (2003), burung

dara dan walet terbukti kebal terhadap infeksi H5N1. Meskipun demikian, Werner

et al
(belum dipublikasikan) berhasil memicu terjadinya gangguan neurologik yang

berkepanjangan akibat adanya ensefalitis non-suppuratif (Klopfleisch 2006), pada

5/16 burung dara dengan menggunakan isolat HPAI H5N1 baru dari Indonesia.

DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Penyakit-penyakit berikut ini harus dipertimbangkan sebagai diagnosis

diferensial karena kemampuan mereka untuk menyebabkan penyakit secara

14 FLU BURUNG

mendadak disertai angka kematian yang tinggi atau terjadi hemostasis di jengger

atau gelambirnya:

Penyakit Newcastle velogenik

Laringotrakheitis menular (pada ayam)

Wabah (plague) pada bebek

Keracunan akut

Kholera akut (Pasteurellosis) pada kawanan unggas

Selulitis bakterial pada jengger dan gelambir

Bentuk HPAI yang tidak begitu parah dapat lebih membingungkan lagi. Oleh

karena itu pemeriksaan laboratorium diagnostik sangat penting sebelum

menentukan tindakan berikutnya (Elbers 2005).

PEMERIKSAAN LABORATORIK

Pengambilan spesimen

Spesimen untuk pemeriksaan virus influensa unggas harus diambil dari beberapa

bangkai segar dan dari unggas yang sakit dalam satu kawanan (
flock). Idealnya,

pengambilan sampel yang baik harus dilandasi metoda statistik yang benar dan

diagnosis ditegakkan berdasarkan kawanan (
on flock basis). Sewaktu mengambil

sampel dari burung yang diduga terkena HPAI, standar keamanan harus dipatuhi

agar petugas tidak terpapar pada HPAIV yang berpotensi menular ke manusia

(
zooanthroponotic)(Bridges2002). Untuk itu CDC (Centers for Disease Control

and Prevention
) Amerika Serikat sudah mengeluarkan panduan (CDC 2005).

Demikian pula OSHA (
Occupational Safety & Haealth Administration) (OSHA

2005).

Untuk pemeriksaan virologik, pasa umumnya usapan yang diambil dari

kloaka dan orofarinx memungkinkan dilakukannya pemeriksaan laboratorik yang

lebih baik. Bahan yang diperoleh melalui usapan ini perlu dicampur dengan 2-3 ml

aliquot dari medium pembawa yang isotonik dan steril yang mengandung tambahan

antibiotika dan sumber protein (mis. 0,5% [berat/volume] albumin serum sapi,

sampai 10% serum sapi atau suatu infusi otak-jantung).

Pada otopsi, yang dilakukan dalam lingkungan yang aman dan

menghindari kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit (lihat atas), spesimen

yang belum diawetkan dari otak, trakhea/paru-paru, limpa dan isi usus disisihkan

untuk dilakukan isolasi virus.

Untuk kepentingan pemeriksaan serologik, diambil sampel darah langsung

dari unggas yang terkena. Jumlah sampel yang dikumpulkan harus memenuhi

syarat untuk deteksi dengan 95% interval konfidens untuk sebuah parameter dengan

prevalensi 30%.

Pengangkutan spesimen

Sediaan usap, jaringan dan darah sampel harus diangkut dalam pendingin tetapi

jangan samapi membeku. Jika diperkirakan pengangkutan tertunda di tempat transit

selama lebih dari 48 jam, spesimen tersebut harus dibekukan dan diangkut dengan

ditambahi es kering. Dalam segala hal, peraturan keamanan pengangkutan (mis.

PEMERIKSAAN LABORATORIK 15

ketentuan IATA) harus secara cermat dipatuhi untuk mencegah penyebaran

penyakit dan terpaparnya petugas secara tidak disengaja selama perjalanan.

Sebaiknya sebelum mengirim, laboratorium diagnostik yang dituju sudah

dihubungi, bahkan lebih baik lagi sejak sampel akan diambil.

Jenjang diagnostik

Deteksi Langsung infeksi AIV (virus influensa unggas)

Pada dasarnya ada dua jalur (paralel) diagnosis yang ditujukan untuk (i) isolasi dan

penentuan subtipe virus dengan metoda klasik (lihat Panduan OIE 2005) dan (ii)

deteksi molekuler dan ciri-ciri genom virus.

(i) Secara konvensional, virus influensa unggas diisolasi melalui inokulasi telur

ayam berembryo umur 9-11 hari dengan menggunakan sediaan hapus atau

homogenat jaringan, biasanya melalui kantung khorioallantoik (Woolcock 2001).

Tergantung kepada patotipe virus yang dimasukkan, embryo mungkin mati

mungkin pula tidak dalam masa lima hari observasi dan biasanya tidak ditemukan

adanya lesi, baik pada embryo maupun pada membran allantois (Mutinelli 2003b).

Telur-telur yang diinokulasi dengan bahan yang mengandung HPAIV biasanya mati

dalam waktu 48 jam. Adanya zat hemaglutinik dapat dideteksi dalam cairan

allantois yang diambil. Hemaglutinasi (HA) adalah tehnik pengujian yang tidak

sensitif karena memerlukan paling sedikit 10
6,0 partikel per mililiter. Jika

konsentrasi virus dalam inokulum hanya sedikit, mungkin diperlukan sampai dua

kali lagi melewati telur berembryo untuk beberapa
strain LPAIV, supaya diperoleh

jumlah virus yang cukup untuk dapat dideteksi oleh uji HA. Dalam hal HPAIV,

pelintasan kedua pada telur berembryo dengan menggunakan inokulum yang sudah

diencerkan dapat membawa hasil yang lebih baik untuk menghasilkan zat

hemaglutinasi yang optimal.

Isolat zat peng-hemaglutinasi secara antigenik dikenali melalui uji

penghambatan hemaglutinasi (
haemagglutination inhibition- HI) dengan

menggunakan anti serum (mono-) spesifik terhadap subtipe 16 H dan, sebagai

kontrol, dilakukan uji serupa terhadap beberapa tipe paramyxovirus unggas yang

juga menunjukkan aktivitas hemaglutinasi. Subtipe NA dapat ditentukan melalui uji

penghambatan neuroamidase (
neuroamidase inhibition assays), yang juga

memerlukan serum yang spesifik untuk subtipe (Aymard 2003). Jika ditemukan

isolat dari garis H5 atau H7, maka indeks patogenisitas intravena (IVPI) mereka

harus ditentukan untuk membedakan antara biotipe LP (berpatogenisitas rendah)

dan HP (berpatogenisitas tinggi) (Allan 1997). Hal ini dilakukan dengan

menginokulasi sepuluh ekor anak ayam berumur 6 minggu dengan isolat yang

ditumbuhkan dalam telur (0,1 ml dari cairan allantoik yang mengandung titer HA

lebih besar dari 1 dalam 16, dan diencerkan 1: 10). Anak-anak ayam tersebut

diobservasi selama sepuluh hari untuk melihat gejala-gejala klinik yang timbul. Jika

hasil yang ditemukan adalah lebih besar daripada 1,2, ia diinetgrasikan ke dalam

indeks yang menunjukkan adanya virus influensa A unggas berpatogenisitas tinggi

(HPAI). Cara lain adalah, jika paling sedikit ada tujuh dari sepuluh (75%) anak

ayam yang mati selama masa observasi, maka berarti yang dijumpai adalah isolat

HPAI.

16 FLU BURUNG

Prosedur klasik yang diuraikan di atas dapat digunakan untuk

mendiagnosis influensa A unggas berpatogenisitas tinggi hanya dalam waktu lima

hari, tetapi diperlukan waktu lebih dari dua minggu untuk memastikan ada tidaknya

virus influensa unggas (AIV). Selain itu untuk kepastian ada tidaknya AIV, sebagai

prasyarat diperlukan juga alat-alat diagnostik berkualitas tinggi (telur-telur SPF, dan

antiserum spesifik untuk subtipe H dan N) serta tenaga yang terlatih. Saat ini belum

ada cara pembiakan isolat AIV yang dapat mencapai sensitivitas setiggi telur ayam

berembryo (Seo 2001).

(ii) Cara pendekatan yang lebih cepat, terutama jika diperlukan kepastian tidak

adanya infeksi, adalah dengan menggunakan tehnik molekuler, yang harus

mengikuti cara berjenjang (
cascade style): pertama-tama dilakukan pendeteksian

adanya RNA yang spesifik dari virus influensa A melalui reaksi rantai polymerase

transkripsi terbalik (
reverse transcription-polymerase chain reaction, RT-PCR)

yang mencari fragmen gen M, segmen genom virus influensa yang paling

terkonservasi (Fouchier 2000, Spackman 2002), atau gen nukleokapsid (Dybkaer

2004). Jika ditemukan hasil positif: dilakukan RT-PCR yang mengamplifikasi

fragmen gen hemaglutinin dari subtipe H5 dan H7, untuk mendeteksi adanya virus

influensa unggas yang wajib dilaporkan (Dybkaer 2004, Spackman 2002). Jika hal

ini juga positif, dilakukan diagnosis molekuler untuk mengenali patotipe (LP atau

HP) setelah dilakukan pengurutan (
sequemcing) fragmen gen HA yang menyelimuti

tempat pembelahan endoproteolitik. Isolat yang menampilkan berbagai asam amino

esensial diklasifikasikan sebagai HPAI. Kini dieancang teknik PCR dan pengenalan

DNA untuk mendeteksi
strain H5N1 garis Asia (Collins 2002, Payungporn 2004,

Ng 2005). Subtipe yang bukan H5/H7 dapat diidentifikasikan melalui RT-PCR

yang baku yang diikuti dengan analisis urutan sub-unit HA-2 (Phipps 2004). Ada

juga uji awal untuk tiap subtipe NA. Pengenalan virus secara lengkap mungkin

dapat diselesaikan dalam waktu tiga hari, terutama jika digunakan teknik PCR

sesaat (
real time PCR techniques) (Perdue 2003, Lee and Suarez 2004). Tetapi saat

ini juga sedang dikembangkan keping DNA (
DNA chips) yang akan dapat

merampingkan penentuan tipe virus inflensa unggas (Li 2001, Kessler 2005).

Diagnosis penyingkir (
exclusion diagnosis) dapat ditetapkan dalam tempo satu hari.

Kelemahan diagnosis molekuler adalah pada biaya yang harus keluar

untuk membeli peralatan dan bahan habis pakai, meskipun jika dapat disediakan

akan mengurangi kebutuhan tenaga yang diperlukan untuk analisis dan dalam

waktu yang lebih singkat dibanding dengan diagnosis dengan cara isolasi virus

melalui telur. Tetapi bukan rahasia lagi bahwa tiap PCR atau reaksi hibridisasi,

berbeda dengan isolasi virus dalam telur, mengandung ketidak pastian yang terkait

dengan adanya mutasi spesifik isoolat tertentu di tempat penggabungan dari ujung

(
probes) virus yang dapat membuat hasil pemeriksaan jadi negatif palsu.

Oleh karena itu, gabungan antara uji molekuler (mis. untuk keperluan

penapisan) dan cara-cara klasik (mis. untuk mengenali sifat-sifat isolat dan

memastikan diagnosis dari sebuah) dapat mengimbangi kelemahan-kelemahan yang

dimiliki oleh kedua cara tersebut.

Beberapa cara pebgujian cepat (
rapid assay) telah dikembangkan untuk

mendfeteksi adanya antigen virus dalam sediaan hapus jaringan dan potonganpotongan

beku dengan menggunakan imunofluoresensi, atau dengan
enzyme linked

immunosorbent assay
(ELISA) dan sistem alur lateral dengan keping celup (dipPENULARAN

17

stick lateral flow system
) terhadap sediaan cairan usap. Sebegitu jauh, tehnik ini

masih kurang peka dibanding isolasi virus dalam telur ataupun PCR, sehingga

masih sulit untuk digunakan sebagai penentu diagnosis yang secara sah mengikat,

terutama dalam kasus indeks (Davison 1998, Cattoli 2004). Penggunaan pena uji

yang dilakukan di bidang kedokteran hewan masih dalam tahap dini dan

memerlukan pengembangan lebih lanjut.

Deteksi infeksi influensa unggas secara tidak langsung

Pemeriksaan serologik berbasis satu kawanan hewan berguna untuk keperluan

penapisan (Beck 2003). Untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik virus influensa

unggas (AIV) dalam sampel serum dari kawanan unggas, atau kuning telur dalam

hal unggas petelur, uji penghambatan hemaglutinin (HI assay) dengan

menggunakan antigen subtipe tertentu masih merupakan cara yang terbaik. Adanya

antibodi yang spesifik untuk jenis (virus influensa tipe A) terhadap protein

nukleokapsid dapat juga dideteksi dengan imunopresipitasi dalam agar dan dengan

ELISA (Meulemans 1987, Snyder 1985, Jin 2004). Format ELISA kompetitif

memungkinkan silakukannya pemeriksaan serum-serum dari semua spesies unggas,

tanpa tergantung kepada adanya konjugat yang spesifik untuk spesies (Shafer 1998,

Zhou 1998). Penggunaan format ELISA untuk mendeteksi antibodi spesifik H7

sudah pernah dilaporkan (Sala 2003), tetapi saat ini belum ada
assay serupa untuk

mendeteksi adanya antibodi yang spesifik untuk H5 dalam serum unggas.

Pembentukan antibodi yang spesifik untuk subtipe dalam serum tergantung

kepada sifat-sifat
strain virus dan, terutama, kepada spesies penjamu. Dalam

unggas (ayam) peliharaan, adanya antibodi spesifik-AIV dapat dideteksi secara

meyakinkan pada minggu kedua setelah terpapar; dan antibodi dalam kuning telur

terdeteksi beberapa hari kemudian (Beck 2003). Produksi dan terdeteksinya

antibodi dalam spesies
Anatidae jauh lebih bervariasi (Suarez and Schultz-Cherry

2000).

PENULARAN

Penuaran antara sesama unggas

Lingkar hidup virus influensa unggas jenis patogenisitas rendah dalam unggas air

liar secara genetik adalah stabil (Webster 1992). Siklus infeksi antar unggas terjadi

melalui rantai oral-fekal (mulut-tinja). Selain menular melalui kontak langsung dari

penjamu ke penjamu, air dan benda-benda lain yang tercemar virus merupakan jalur

penularan tidak langsung yang juga penting. Ini berbeda dengan penularan virus

influensa pada mamalia (manusia, babi, kuda) yang terutama terjadi melalui

percikan yang tersembur dari hidung dan mulut. Pada unggas, titer ekskresi

tertinggi yang pernah dilaporkan mencapai 10
8,7 x 50% dosis telur-terinfeksi (egginfected

dose,
EID50) per gram tinja (Webster 1978). Titer rata-rata biasanya jauh

lebih rendah dari itu. Virus influensa unggas menunjukkan kemampuan yang

mengagumkan dalam mempertahankan daya penularannya di lingkungan alam,

terutama di permukaan air, meskipun dalam morfologi nampak rapuh (Stallknecht

1990a+b, Lu 2003). Telah dibuktikan bahwa suspensi virus dalam air mampu

mempertahankan daya penularannya selama lebih dari 100 hari pada suhu 17
o C. Di

bawah – 50
o C virus dapat bertahan praktis untuk waktu yang tidak terbatas. Data

dari Ito
et al (1995) dan Okazaki et al (2000) membuktikan bahwa di daerah

18 FLU BURUNG

palearktik, virus influensa unggas terawetkan di dalam air danau yang beku selama

musim dingin ketika penjamu alaminya sedang bermigrasi ke tempat yang lebih

panas. Ketika mereka kembali pada musim panas berikutnya, unggas-unggas

tersebut bserta anak-anaknya yang masih rentan akan terinfeksi oleh virus-virus

yang terlepas sewaktu es mencair. Sejalan dengan temuan ini, diperkirakan bahwa

virus-virus influensa tersimpan awet dalam lingkungan es untuk waktu yang sangat

lama (Smith 2004), dan bahwa virus-virus kuno serta genotipnya dapat aktif

kembali dari tempat-tempat penampungan semacam itu (Rogers 2004).

Masuknya virus LPAI subtipe H5 atau H7 ke tubuh kawanan unggas yang

rentan merupakan dasar dari rantai infeksi yang dapat diikuti dengan perkembangan

de novo
biotipe yang sangat patogenik. Risiko penularan dari burung liar ke unggas

peliharaan terutama terjadi kalau unggas peliharaan tersebut dibiarkan bebas

berkeliaran, menggunakan air yang juga digunakan oleh burung liar, atau makan

dan minum dari sumber yang tercemar kotoran burung liar pembawa virus (Capua

2003, Henzler 2003). Unggas juga dapat terinfeksi jika bersentuhan langsung

dengan hewan pembawa virus, atau kotoran hewan lain yang membawa virus, atau

bersentuhan dengan benda-benda yang tervemar bahan mengandung virus. Sekali

virus menginfeksi kawanan unggas, LPAIV tidak harus mengalami suatu fase

adaptasi pada spesies unggas tersebut sebelum dikeluarkan lagi dalam jumlah yang

cukup besar untuk dapat menular secara horisontal ke unggas lain, baik dalam

kawanan sendiri ataupun ke kawanan yang lain. Demikian pula sekali HPAIV

berkembang dari kawanan unggas yang terinfeksi LPAIV, ia juga dapat menular

dengan cara yang sama. Pasar unggas yang menjual unggas dalam jumlah besar dan

unggas ditempatkan secara saling berdesakan, merupakan multiplikator penyebaran

penularan (Shortage 1998, Bulaga 2003).

Tindakan pengamanan (
biosecurity) yang baik, yang ditujukan untuk

mengisolasi perusahaan peternakan unggas yang besar, dapat secara efektif

mencegah penularan dari satu peternakan ke peternakan yang lain secara mekanik

(misalnya melalui alat-alat, kendaraan, makanan, pakaian -- terutama sepatu, dan

kandang atau kurungan yang tercemar)..Sebuah analisis yang dilakukan terhadap

kasus wabah HPAI di Italia selama tahun 1999/2000 menunjukkan cara penulatan

sebagai berikut: pemindahan atau perpindahan kawanan unggas (1,0%), kontak

yang terjadi selama dalam pengangkutan unggas ke tempat pemotongan (8,5%),

lingkungan dalam radius atu kilometer seputar peternakan yang terserang (26,2%),

truk-truk yang digunakan mengangkut pakan, kandang atau bangkai unggas

(21,3%), penularan secara tidak langsung karena pertukaran karyawan, alat-alat,

dsb (9,4%) (Marangon and Capua 2005). Tidak ada petunjuk bahwa wabah yang

terjadi di Italia itujuga menyebar melalui udara. Tetapi pada wabah yang terjadi di

Belanda (2003) dan kanada (2004), diperkirakan juga terjadi penyebaran melalui

udara (Landman and Schrier 2004, Lees 2004). Peranan vektor hidup seperti

binatang pengerat atau lalat, yang dapat bertindal sebagai “vektor mekanik” tetapi

dia sendiri tidak terinfeksi, belum dapat ditentukan tetapi yang pasti peranan

mereka tidak dianggap besar.

Hingga munculnya HPAIV H5N1 garis Asia, adanya infeksi balik HPAIV

dari unggas ternak ke burung liar belum memegang peranan yang berarti. Tetapi

dalam bulan April 2005, penyakit yang diakibatkan oleh H5N1 garis Asia muncul

di danau Qinghai di Barat Laut China yang memakan korban ribuan angsa

berkepala bergaris dan bebek spesies lain yang berpindah serta juga burung camar

(Chen 2005, Lu 2005). Oleh karena itu kemungkinan terjadinya penularan virus

PENULARAN 19

H5N1 garis Asia oleh burung-burung liar perlu diperhitungkan dalam konsep

pencegahan di masa datang (dibahas di bawah).

Sejak akhir 2003, di Asia telah dijumpai beberapa virus H5N1 yang sangat

patogen pada ayam tetapi tidak pada bebek (Sturm-Ramirez 2005). Uji coba infeksi

dengan menggunakan isolat virus-virus ini menunjukkancampuran yang heterogen

dalam analisis genetik dan kemampuan membentuk lempeng dalam biakan sel

(Hulse Post 2005). Bebek-bebek yang selamat dalam percobaan dengan isolat ini

mengeluarkan virus pada hari ke 17 yang telah kehilangan potensi patogenisitasnya

terhadap bebek. Jika gejala-gejala klinis digunakan untuk melakukan skrining

adanya HPAIV H5N1 di lapangan, bebek-bebek ini nampaknya telah menjadi

“Kuda Troya” bagi virus-virus ini (Webster 2006).

Penularan ke manusia

Penularan virus influensa unggas ke manusia yang menimbulkan gejala-gejala

klinis yang nyata masih dianggap peristiwa yang jarang (lihat Tabel 3). Mengingat

besarnya potensi terpapar HPAIV H5N1 pada jutaan manusia di Asia Tenggara,

jumlah kasus influensa unggas pada manusia yang terdokumentasikan, meskipun

menunjukkan peningkatan selama beberapa tahun terakhir ini, secara komparatif

masih dapat dianggap rendah

(http://www.who.int/diseases/avian_influenza/country/en).

Pertama kali ditemukan adanya hubungan antara HPAIV H5N1 garis

Asia dengan penyakit pernafasan pada manusia adalah di Hong Kong pada tahun

1997, ketika enam dari 18 orang yang terinfeksi H5N1 meninggal dunia. Kasuskasus

ini secara epidemiologik berhubungan dengan kejadian wabah H5N1 yang

sangat patogen di pasar unggas hidup (Yuen 1998, Claas 1998, Katz 1999). Risiko

penularan langsung dari unggas ke manusia terutama terjadi pada mereka yang

telah bersentuhan dengan unggas ternak yang sudah terinfeksi, atau dengan

permukaan benda-benda yang banyak tercemari kotoran unggas. Risiko terpapar

diperkirakan cukup substantif sewaktu penyembelihan, pencabutan bulu,

pemotongan dan persiapan unggas untuk dimasak

(http//www.who.int/csr/don/2005_08_18/en/). Virus HPAI H5N1 garis asia dapat

ditemukan di semua jaringan – termasuk daging – di tubuh bangkai. Dalam

beberapa kejadian serupa, dilaporkan bahwa orang yang menyembelih atau

mempersiapkan unggas yang sakit untuk dimakan telah mengalami penyakit yang

fatal, sementara anggota keluarganya yang juga ikut makan daging unggas tersebut

tidak mengalami hal serupa

(http//www.who.int/csr/don/2005_10_13/en/index.html).

Suatu
strain H9N2 telah menyebabkan gejala mirip influensa ringan

pada dua orang anak dalam kejadian SAR di Hong Kong di tahun 1999, dan

seorang anak lagi di pertengahan bulan Desember 2003 (Saito 2001, Butt 2005).

Strain H9N2 yang beredar dalam unggas ternak pada saat ini telah menimbulkan

gejala-gejala dan angka kematian yang bermakna pada spesies yang rentan semisal

kalkun dan ayam.

Sampai hari ini, tidak ada bukti bahwa daging unggas yang dimasak

secara baik dapat menjadi sumber penularan H5N1 garis Asia pada manusia.

Sebagai pedoman umum, WHO menganjurkan agar daging dimasak sampai matang

benar, sehingga seluruh bagian daging mencapai suhu internal 70
o C. Pada suhu ini

20 FLU BURUNG

virus influensa dapat dimatikan sehingga membuat aman untuk dimakan mrskipun

daging mentahnya telah tercemari virus H5N1 (WHO 2005).

Tabel 3 Infeksi influensa unggas pada manusiayang terdokumentasikan*

Tahun Negara/Wilayah
Strain Kasus

(Mati)

Gejala-gejala Sumber penularan

1959 Amerika Serikat H7N7** 1 pernafasan bepergian ke luar

negeri

1995 Inggeris H7N7 1 konjunktivitis bebek peliharaan

yang berenang di

danau yang sama

dengan yang

digunakan oleh

burung berpindah

1997 Hong Kong H5N1** 18 (6) pernafasan/

pneumonia

unggas ternak

1998 China

(Guangdong)

H9N2 5 tidak diketahui tidak diketahui

1999 Hong Kong H9N2 2 pernafasan tidak diketahui

2003

(Feb)

Hong Kong H5N1** 2 (1) pernafasan tidak diketahui

2003

(Maret

)

Belanda H7N7** 89 (1) konjunktivitis

(pneumonia,

pada kasus

yang

meninggal

juga terjadi

insufisiensi

pernafasan)

unggas ternak

2003

(Des)

Hong Kong H9N2 1 pernafasan tidak diketahui

2003 New York H7N2 1 pernafasan tidak diketahui

2003 Vietnam H5N1** 3 (3) pernafasan unggas ternak

2004 Vietnam H5N1** 29

(20)

pernfasan unggas ternak

2004 Thailand H5N1** 17

(12)

pernafasan unggas ternak

2004 Kanada H7N3** 2 konjunktivitis unggas ternak

2005 Vietnam H5N1** 61

(19)

pernafasan unggas ternak

2005 Thailand H5N1** 5 (2) pernafasan unggas ternak

2005 China H7N3** 7 (3) pernafasan unggas ternak

2005 Kamboja H5N1** 4 (4) pernafasan unggas ternak

2005 Indonesia H5N1** 16

(11)

pernafasan unggas ternak

2006 Turki H5N1** 3 (3) pernafasan unggas ternak

*Sumber: Avan influenza – assessing the pandemic threat. WHO.

http://www.who.int/csr/disease/influenza/WHO_CDS_2005_29/en/
, diases 06 Januari 2006.

** Sangat patogen bagi unggas

PENULARAN 21

Penularan ke mamalia lain

Dalam beberapa kejadian, virus influensa unggas sydah menular ke berbagai

spesies mamalia. Di sini, mengikuti siklus replikasi dan adaptasi, garis epidemi baru

dapat diketahui. Terutama babi telah sering terlibatkan dalam “pelintasan antar

kelas” semacam itu. Di populasi babi di Eropa, virus H1N1 yang serupa virus

unggas sangat banyak dijumpai (Heinen 2002) dan sebuah virus H1N2, yang

merupakan virus re-assortant unggas-manusia, pertama kali berhasil disiolasi di

Inggeris tahun 1992, kini makin mantap pertumbuhannya Brown 1998). Di

Amerika Serikat, sebuah virus (H3N2) yang merupakan
triple reassortant antara

H1N1 yang klasik, virus H3N2 manusia dan subtipe virus unggas kini mulai

beredar (Olsen 2002). Subtipe lain yang barangkali berasal dari unggas (mis. H1N7,

H4N6) beberapa kali dijumpai pada babi (Brown 1997, Karasin 2000). Sebuah

virus H9N2 yang berasal dari unggas dalam prevalensi yang moderat dijumpai pada

babi di China bagian timur (Xu 2004). Selain babi, mamalia laut dan kuda juga

sudah menunjukkan tertulari virus influensa A yang berasal dari unggas (Guo 1992,

Ito 1999).

Infeksi H5N1 secara alami juga pernah dijumpai pada harimau dan

kucing besar lainnya di sebuah kebun binatang di Thailand setelah hewan-hewan itu

diberi makan bangkai ayam yang membawa virus (Keawcharun 2004, Quirk 2004,

Amosin 2005). Hewan-hewan tersebut kemudian menderita sakit berat dengan

angka kematian yang tinggi. Nampaknya terjadi juga penularan dari kucing ke

kucing di kebun binatang tersebut (Thanawongnuwech 2005). Kasus-kasus ini

merupakan laporan pertama tentang terjadinya infeksi virus influensa pada

golongan
Felidae. Dalam suatu eksperimen, kucing rumah Eropa berbulu pendek

juga dapat ditulari virus H5N1 (Kuiken 2004).

Pada tahun 2004, sebanyak 3.000 sampel serum yang diambil dari babi

yang bebas berkeliaran di Vietnam telah diuji secara serologik untuk mengetahui

seberapa jauh mereka telah terpapar oleh virus influensa H5N1 (Choi 2005).

Melalui uji netralisasi virus dan analisis
Western blot terbukti bahwa 0,25% sampel

menunjukkan hasil seropositif. Dalam suatu eksperimen infeksi, nampak bahwa

babi dapat terinfeksi virus H5N1 yang diisolasi di Asia di tahun 2004 dari manusia

dan unggas. Gejala yang muncul setelah diobservasi selama empat hari pasca

infeksi hanyalah batuk ringan dan suhu badan yang sedikit meningkat. Selanjutnya

virus dapat diisolasi dari jaringan saluran pernafasan selama oaling sedikit enam

hari. Titer virus tertinggi dari usap jaringan hidung dijumpai pada hari kedua pasca

infeksi, tetapi tidak satupun dari hewan yang diinfeksi melalui percobaan ini yang

menularkannya ke babi lain yang bersentuhan dengan mereka. Nampaknya virus

H5N1 ganas yang beredar di Asia dapat secara alami menginfeksi babi tetapi

insidensi penularan seperti itu agaknya masih rendah. Tidak satupun virus H5N1

dari unggas dan manusia dalam uji coba tersebut sanggup menular di antara babibabi

dalam kondisi eksperimental ini (Choi 2005). Berdasarkan pada pengamatan

ini, saat ini agaknya babi tidak memainkan peranan penting terhadap terjadinya

wabah virus H5N1 garis Asia.

Wabah influensa unggas H7N7 yang sangat patogen pada unggas

ternak di Belanda, Belgia dan Jerman dalam musim semi tahun 2003 telah

menyebabkan penyakit yang ringan, terutama konjunktivitis, pada 89 pekerja

peternakan unggas yang terpapar oleh unggas hidup dan bangkai unggas yang

terinfeksi (Koopmans 2004). Tetapi seorang dokter hewan yang terkena infeksi

22 FLU BURUNG

mengalami sesak nafas akut yang membawa kematian (Foucher 2004). Selain itu,

selama terjadi wabah di Belanda, infeksi H7N7 telah secara virologi dan serologi

terpastikan pada beberapa keluarga yang mengalami kontak dengan sumber infeksi,

empat di antaranya mengalami konjunktivitis (Du Ry van Beest Holle 2005). Bukti

adanya infeksi alami (asimtomatik) oleh
strain LPAIV subtipe H9, H7 dan H5

pada manusia juga telah dilaporkan pada kejadian lain di Italia dan Jepang (Zhou

1999, Puzell 2005, Promed 20060110.0090).

Dalam sebuah laporan singkat (Promed Mail 20050826), disampaikan

sebuah kejadian infeksi mematikan oleh influensa H5N1 pada tiga ekor musang

pemakan ikan yang lahir di tempat pemeliharaan di sebuah taman nasional

Vietnam. Sumber penularan sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.

Sementara 20 ekor hewan sejenis yang tinggal di kandang sebelahnya tidak ada

satupun yang sakit.

Virus influensa unggas tidak ditemukan pada tikus, kelinci dan

beberapa jenis hewan lain yang ada di pasar unggas hidup di Hong Kong, ketika

sebanyak 20% ayam yang dijual di sana ditemukan positif terinfeksi H5N1 garis

asia (Shortridge 1998).

EPIDEMIOLOGI

Unggas ternak

Sampai akhir tahun 2003, HPAI dianggap sebagai penyakit yang jarang terjadi pada

unggas ternak. Sejak 1959, hanya ada 24 wabah primer di seluruh dunia yang

pernah dilaporkan (lihat Tabel 1). Sebagian besar terjadi di Eropa dan benua

Amerika. Kebanyakan wabah tersebut terbatas secara geografis pada daerah

tertentu, dengan hanya lima kejadian yang menyebar ke sejumlah peternakan, dan

hanya satu yang dikpaorkan menyebar secara internasional. Tidak satupun dari

wabah-wabah tersebut yang mendekati ukuran wabah H5N1 di asia yang terjadi di

tahun 2004 (WHO 2004/03/02). Sampai hari ini semua wabah dalam bentuk yang

sangat patogen disebabkan oleh virus influensa A dari subtipe H5 dan H7.

Di masa lalu, perdagangan ilegal atau perpindahan unggas hidup yang

terinfeksi atau produk-produk darinya yang belum diolah, serta penyebaran virus

secara mekanikal melalui mobiltas manusia (pelancong, pengungsi, dsb) telah

menjadi faktor utama dalam penyebaran HPAIV.

Dimensi baru wabah HPAI mencuat di akhir tahun 2003. Dari

pertengahan desember 2003 sampai ke awal Februari 2004, wabah yang disebabkan

oleh H5N1 HPAI garis Asia dilaporkan telah menyerang unggas di Korea Selatan,

Vietnam, Jepang, Thailandf, Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Lao,

Indonesia dan China. Kejadian wabah yang serentak di banyak negara oleh virus

influensa H5N1 yang sangat patogen pada unggas ini belum pernah terjkadi

sebelumnya. Segala upaya yang dilakukan untuk membendung wabah ini sebegitu

jauh telah gagal. Meskipun pemisahan dan pemusnahan secara
pre-emptive sudah

dilakukan terhadap sekitar 150 juta unggas, H5N1 sekarang dianggap menjadi

endemik di beberapa bagian dari Indonesia (sampai akhir Maret 2006 sudah

menjangkau 26 dari 31 provinsi) dan Vietnam, sebagian kamboja, China, Thailand

dan mungkin juga di Republik Demokratik Rakyat Lao.

EPIDEMIOLOGI 23

Virus awal, dijumpai untuk pertama kalinya di tahun 1997, adalah hasil

proses
re-assortant termasuk paling tidak sebuah virus H5N1 yang berasal dari

angsa domestik (A/goose/Guangdong/1/96, yang menumbangkan unsur HA) dan

virus H6N1 yang diduga berasal dari bebek (A/teal/Hong Kong/W312/97) yang

menumbangkan NA dan segmen-segmen untuk protein internal), yang kemudian

mengalami banyak siklus re-asortasi dengan virus influensa unggas lain yang tidak

dikenal (Xu 1999, Hoffmann 2000, Guan 2002b). Beberapa genotip garis H5N1

yang berbeda juga pernah dilaporkan (Cauthen 2000, Guan 2002a+2003). Apa yang

disebut sebagai genotip “Z” telah mendominasi wabah yang terjadi sejak desember

2003 (Li 2004).

Dalam bulan April 2005, tingkat epidemi baru terjadi ketika untuk

pertama kalinya
strain H5N1 dapat menulari populasi ungas-unggas liar dalam

skala besar (Chen 2005, Liu 2005). Di danau Qinghai di Barat Laut China beberapa

ribu angsa berkepala bergaris, sebuah spesies unggas berpindah, sakit dan mati

terkena infeksi virus tersebut. Beberapa spesies burung camar dan juga burung laut

lain (
cormorants) juga terserang di tempat ini. Ketika di musim panas dan awal

musim gugur tahun 2005, wabah H5N1 dilaporkan untuk pertama kalinya di

wilayah yang secara geografis berdekatan dengan Mongloia, Kazakhstan dan

Siberia Selatan, timbul dugaan bahwa virus tersebut telah disebarkan oleh kawanan

unggas berpindah. Penyebaran wabah ini kemudian meluas di sepanjang jalur

perpindahan unggas dari Asia Dalam ke Timur Tengah dan Afrika, mengenai Turki,

Romania, Kroasia, dan semenanjung Krimea di akhir tahun 2005. Dalam semua

kejadian (kecuali di Mongolia dan Kroasia) wabah ini mengenai baik unggas ternak

maupun unggas liar. Banyak kasus yang dilaporkan yang mengenai unggas ternak

terjadi di daerah yang berdekatan dengan danau dan rawa-rawa yang menjadi

tempat singgah unggas air liar. Meskipun hal ini memperkuat dugaan bahwa unggas

berpindah menjadi penyebar virus, patuta dicatat bahwa sejauh ini virus HPAI

H5N1 garis Asia hanya ditemukan di unggas air liar yang sakit berat atau mati.

Status H5N1 yang sebenarnya dalam populasi unggas air liar dan peranannya dalam

menyebarkan infeksi masih menjadi tanda tanya besar. Pada saat ini yang dapat

diperkirakan hanyalah bahwa unggas air liar tersebut dapat membawa virus sampai

jauh selama dalam masa inkubasi (masa tunas), atau agaknya beberapa spesies

masih dapat mempertahankan mobilitasnya meskipun sudah terinfeksi H5N1.

Tetapi sementara itu, berbagai penelitian di China telah

mengungkapkan lebih banyak lagi genotip baru dari virus H5N1 garis Asia pada

burung gereja (Kou 2005). Tidak satupun burung gereja tempat virus tersebut

diambil untuk diisolasi, ataupun bebek-bebek yang dicoba diinfeksi dengan virusvirus

tersebut yang menunjukkan gejala-gejala sakit. Tetapi ketika dilakukan

percobaan penularan ke ayam, gejala infeksi H5N1 muncul sepenuhnya. Karena

beberapa burung gereja dari kawanan yang sama membawa beberapa genotipe yang

berbeda, yang mungkin tumbuh dari proses re-asortasi dengan virus influensa

unggas lain yang tidak diketahui asalnya, maka diperkirakan bahwa virus serupa

H5N1 telah menular ke burung-burung tersebut sejak beberapa waktu (bulan?) yang

lalu. Data ini menandai adanya langkah penyebaran baru: burung gereja, karena

cara hidupnya, telah menjadi mediator ideal antara unggas liar dengan unggas

ternak dan mungkin juga secara dua arah membawa virus ke populasi unggasunggas

tersebut. Infeksi H5N1 ganas yang terjadi pada burung gereja secara

individual (sakit atau mati) di lokasi yang terbatas pernah dilaporkan dari Thailand

dan Hong Kong. Endemisitas HPAIV pada burung-burung seperti burung gereja,

24 FLU BURUNG

walet dan murai yang hidup dekat dengan hunian manusia bukan saja dapat

mendekatkan bahaya pada industri ternak unggas tetapi juga meningkatkan risiko

penularan kepada manusia (Nestorowicz 1987).

Manusia

Sampai tanggal 30 Desember 2005, sebanyak 142 kasus infeksi influensa unggas

pada manusia telah dilaporkan dari berbagai wilayah. Pada saat itu penularan pada

manusia masih terbatas di Kamboja, Indonesia, Thailand, dengan episenter di

Vietnam (65,5% dari seluruh kasus), Sebanyak 72 orang (50,7%) telah meninggal.

Jumlah tersebut kini sudah bertambah lagi terutama dengan meluasnya penyebaran

dan bertambahnya kematian di Indonesia. Juga dari beberapa negara lain (Turki,

Irak) sudah ada laporan tentang kasus influensa unggas ini pada manusia.

Di bawah ini disajikan tabel (Tabel 4) jumlah kasus dan kematian

manusia akibat influensa unggas A (H5N1) yang dilaporkan ke WHO sampai

tanggal 24 Maret 2006. Hanya kasus yang secara laboratorik sudah dikonfirmasi

yang dimuat dalam tabel ini.

Tabel 4 Jumlah kumulatif kasus influensa unggas A (H5N1) pada manusia yang dilaporkan dan

dikonfirmasi ke WHO

2003 2004 2005 2006 Total

Negara Kasus Mati Kasus Mati Kasus Mati Kasus Mati Kasus Mati

Azerbaijan 0 0 0 0 0 0 7 5 7 5

Cambodia 0 0 0 0 4 4 1 1 5 5

China 0 0 0 0 8 5 8 6 16 11

Indonesia 0 0 0 0 17 11 12 11 29 22

Irak 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2

Thailand 0 0 17 12 5 2 0 0 22 14

Turki 0 0 0 0 0 0 12 4 12 4

Viet Nam 3 3 29 20 61 19 0 0 93 42

Total 3 3 46 32 95 41 42 29 186 105

Sumber: WHO (
http://who.int/csr/disease/avian_influenza/en

Diakses tanggal 02 April 2006, pukul 2:42

Untuk informasi lebih rinci, lihat Bab tentang Epidemiologi.

DAMPAK EKONOMI

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites