This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 19 April 2012

Aantal TROMBOSIT

Trombosit adalah fragmen atau kepingan-kepingan tidak berinti dari sitoplasma megakariosit yang berukuran 1-4 mikron dan beredar dalam sirkulasi darah selama 10 hari. Gambaran mikroskopik dengan pewarnaan Wright – Giemsa, trombosit tampak sebagai sel kecil, tak berinti, bulat dengan sitoplasma berwarna biru-keabu-abuan pucat yang berisi granula merah-ungu yang tersebar merata.

Trombosit memiliki peran dalam sistem hemostasis, suatu mekanisme faali tubuh untuk melindungi diri terhadap kemungkinan perdarahan atau kehilangan darah. Fungsi utama trombosit adalah melindungi pembuluh darah terhadap kerusakan endotel akibat trauma-trauma kecil yang terjadi sehari-hari dan mengawali penyembuhan luka pada dinding pembuluh darah. Mereka membentuk sumbatan dengan jalan adhesi (perlekatan trombosit pada jaringan sub-endotel pada pembuluh darah yang luka) danagregasi (perlekatan antar sel trombosit).

Orang-orang dengan kelainan trombosit, baik kualitatif maupun kuantitatif, sering mengalami perdarahan-perdarahan kecil di kulit dan permukaan mukosa yang disebut ptechiae, dan tidak dapat mengehentikan perdarahan akibat luka yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Agar dapat berfungsi dengan baik, trombosit harus memadai dalam kuantitas (jumlah) dan kualitasnya. Pembentukan sumbat hemostatik akan berlangsung dengan normal jika jumlah trombosit memadai dan kemampuan trombosit untuk beradhesi dan beragregasi juga bagus.

Beberapa uji laboratorium yang digunakan untuk menilai kualitas trombosit adalah agregasi trombosit, retensi trombosit, retraksi bekuan, dan antibody anti trombosit. Sedangkan uji laboratorium untuk menilai kuantitas trombosit adalah masa perdarahan (bleeding time) dan hitung trombosit

Jumlah trombosit normal adalah 150.000 – 450.000 per mmk darah. Dikatakan trombositopenia ringan apabila jumlah trombosit antara 100.000 – 150.000 per mmk darah. Apabila jumlah trombosit kurang dari 60.000 per mmk darah maka akan cenderung terjadi perdarahan. Jika jumlah trombosit di atas 40.000 per mmk darah biasanya tidak terjadi perdarahan spontan, tetapi dapat terjadi perdarahan setelah trauma. Jika terjadi perdarahan spontan kemungkinan fungsi trombosit terganggu atau ada gangguan pembekuan darah. Bila jumlah trombosit kurang dari 40.000 per mmk darah, biasanya terjadi perdarahan spontan dan bila jumlahnya kurang dari 10.000 per mmk darah perdarahan akan lebih berat. Dilihat dari segi klinik, penurunan jumlah trombosit lebih memerlukan perhatian daripada kenaikannya (trombositosis) karena adanya resiko perdarahan.

Metode untuk menghitung trombombosit telah banyak dibuat dan jumlahnya jelas tergantung dari kenyataan bahwa sukar untuk menghitung sel-sel trombosit yang merupakan partikel kecil, mudah aglutinasi dan mudah pecah. Sukar membedakan trombosit dengan kotoran.

Hitung trombosit dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Metode secara langsung dengan menggunakan kamar hitung yaitu dengan mikroskop fase kontras dan mikroskop cahaya (Rees-Ecker) maupun secara otomatis. Metode yang dianjurkan adalah penghitungan dengan mikroskop fase kontras dan otomatis. Metode otomatis akhir-akhir ini banyak dilakukan karena bisa mengurangi subyektifitas pemeriksaan dan penampilan diagnostik alat ini cukup baik.

Hitung trombosit secara tidak langsung yaitu dengan menghitung jumlah trombosit pada sediaan apus darah yang telah diwarnai. Cara ini cukup sederhana, mudah dikerjakan, murah dan praktis. Keunggulan cara ini adalah dalam mengungkapkan ukuran dan morfologi trombosit, tetapi kekurangannya adalah bahwa perlekatan ke kaca obyek atau distribusi yang tidak merata di dalam apusan dapat menyebabkan perbedaan yang mencolok dalam perhitungan konsentrasi trombosit. Sebagai petunjuk praktis adalah bahwa hitung trombosit adekuat apabila apusan mengandung satu trombosit per duapuluh eritrosit, atau dua sampai tiga trombosit per lapang pandang besar (minyak imersi). Pemeriksaan apusan harus selalu dilakukan apabila hitung trombosit rendah karena penggumpalan trombosit dapat menyebabkan hitung trombosit rendah palsu.

Bahan pemeriksaan yang dianjurkan untuk pemeriksaan hitung trombosit adalah darah EDTA. Antikoagulan ini mencegah pembekuan darah dengan cara mengikat kalsium dan juga dapat menghambat agregasi trombosit.


Metode langsung (Rees Ecker)

Hitung trombosit secara langsung menggunakan kamar hitung yaitu dengan mikroskop cahaya. Pada hitung trombosit cara Rees-Ecker, darah diencerkan ke dalam larutan yang mengandung Brilliant Cresyl Blue sehingga trombosit tercat biru muda. Sel trombosit dihitung dengan menggunakan kamar hitung standar dan mikroskop. Secara mikroskopik trombosit tampak refraktil dan mengkilat berwarna biru muda/lila lebih kecil dari eritrosit serta berbentuk bulat, lonjong atau koma tersebar atau bergerombol. Cara ini memiliki kesalahan sebesar 16-25%, penyebabnya karena faktor teknik pengambilan sampel yang menyebabkan trombosit bergerombol sehingga sulit dihitung, pengenceran tidak akurat dan penyebaran trombosit yang tidak merata.


Metode fase-kontras

Pada hitung trombosit metode fase kontras, darah diencerkan ke dalam larutan ammonium oksalat 1% sehingga semua eritrosit dihemolisis. Sel trombosit dihitung dengan menggunakan kamar hitung standar dan mikroskop fase kontras. Sel-sel lekosit dan trombosit tampak bersinar dengan latar belakang gelap. Trombosit tampat bulat atau bulat telur dan berwarna biru muda/lila terang. Bila fokus dinaik-turunkan tampak perubahan yang bagus/kontras, mudah dibedakan dengan kotoran karena sifat refraktilnya. Kesalahan dengan metode ini sebesar 8 – 10%.

Metode fase kontras adalah pengitungan secara manual yang paling baik. Penyebab kesalahan yang utama pada cara ini, selain faktor teknis atau pengenceran yang tidak akurat, adalah pencampuran yang belum merata dan adanya perlekatan trombosit atau agregasi.


Modifikasi metode fase-kontras dengan plasma darah

Metodenya sama seperti fase-kontras tetapi sebagai pengganti pengenceran dipakai plasma. Darah dibiarkan pada suhu kamar sampai tampak beberapa mm plasma. Selanjutnya plasma diencerkan dengan larutan pengencer dan dihitung trombosit dengan kamar hitung seperti pada metode fase-kontras.


Metode tidak langsung 

Cara ini menggunakan sediaan apus darah yang diwarnai dengan pewarna Wright, Giemsa atau May Grunwald. Sel trombosit dihitung pada bagian sediaan dimana eritrosit tersebar secara merata dan tidak saling tumpang tindih.

Metode hitung trombosit tak langsung adalah metode Fonio yaitu jumlah trombosit dibandingkan dengan jumlah eritrosit, sedangkan jumlah eritrosit itulah yang sebenarnya dihitung. Cara ini sekarang tidak digunakan lagi karena tidak praktis, dimana selain menghitung jumlah trombosit, juga harus dilakukan hitung eritrosit.

Penghitungan trombosit secara tidak langsung yang menggunakan sediaan apus dilakukan dalam 10 lpmi x 2000 atau 20 lpmi x 1000 memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik untuk populasi trombosit normal dan tinggi (trombositosis). Korelasinya dengan metode otomatis dan bilik hitung cukup erat. Sedangkan untuk populasi trombosit rendah (trombositopenia) di bawah 100.000 per mmk, penghitungan trombosit dianjurkan dalam 10 lpmi x 2000 karena memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik. Korelasi dengan metode lain cukup erat.


Hitung Trombosit Otomatis

Penghitung sel otomatis mampu mengukur secara langsung hitung trombosit selain hitung lekosit dan hitung eritrosit. Sebagian besar alat menghitung trombosit dan eritrosit bersama-sama, namun keduanya dibedakan berdasarkan ukuran. Partikel yang lebih kecil dihitung sebagai trombosit dan partikel yang lebih besar dihitung sebagai eritrosit. Dengan alat ini, penghitungan dapat dilakukan terhadap lebih banyak trombosit. Teknik ini dapat mengalami kesalahan apabila jumlah lekosit lebih dari 100.000/mmk, apabila terjadi fragmentasi eritrosit yang berat, apabila cairan pengencer berisi partikel-partikel eksogen, apabila sampel sudah terlalu lama didiamkan sewaktu pemrosesan atau apabila trombosit saling melekat.


Masalah Klinis
  • PENURUNAN JUMLAH : ITP, myeloma multiple, kanker (tulang, saluran gastrointestinal, otak), leukemia (limfositik, mielositik, monositik), anemia aplastik, penyakit hati (sirosis, hepatitis aktif kronis), SLE, DIC, eklampsia, penyakit ginjal, demam rematik akut. Pengaruh obat: antibiotik (kloromisetin, streptomisin), sulfonamide, aspirin (salisilat), quinidin, quinine, asetazolamid (Diamox), amidopirin, diuretik tiazid, meprobamat (Equanil), fenilbutazon (Butazolidin), tolbutamid (Orinase), injeksi vaksin, agen kemoterapeutik.
  • PENINGKATAN JUMLAH
     : Polisitemia vera, trauma (fraktur, pembedahan), paskasplenektomi, karsinoma metastatic, embolisme pulmonary, dataran tinggi, tuberculosis, retikulositosis, latihan fisik berat. Pengaruh obat : epinefrin (adrenalin)

Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Kemoterapi dan sinar X dapat menurunkan hitung trombosit,
  • Pengaruh obat (lihat pengaruh obat),
  • Penggunaan darah kapiler menyebabkan hitung trombosit cenderung lebih rendah,
  • Pengambilan sampel darah yang lamban menyebabkan trombosit saling melekat (agregasi) sehingga jumlahnya menurun palsu,
  • Tidak segera mencampur darah dengan antikoagulan atau pencampuran yang kurang adekuat juga dapat menyebabkan agregasi trombosit, bahkan dapat terjadi bekuan,
  • Perbandingan volume darah dengan antikoagulan tidak sesuai dapat menyebabkan kesalahan pada hasil :
    • Jika volume terlalu sedikit (= EDTA terlalu berlebihan), sel-sel eritrosit mengalami krenasi, sedangkan trombosit membesar dan mengalami disintegrasi.
    • Jika volume terlalu banyak (=EDTA terlalu sedikit) dapat menyebabkan terbentuknya jendalan yang berakibat menurunnya jumlah trombosit.
  • Penundaan pemeriksaan lebih dari 1 jam menyebabkan perubahan jumlah trombosit

Bahan Bacaan :
  1. Dacie, S.J.V. dan Lewis S.M., 1991, Practical Hematology, 7th ed., Longman Singapore Publishers Ptc. Ltd., Singapore.
  2. Gandasoebrata, R., 1992, Penuntun Laboratorium Klinik, Dian Rakyat, Bandung.
  3. Koepke, J.A., 1991, Practical Laboratory Hematology, 1st ed., Churchill Livingstone, New York.
  4. Laboratorium Patologi Klinik FK-UGM, 1995, Tuntunan Praktikum Hematologi, Bagian Patologi Klinik FK-UGM, Yogyakarta.
  5. Oesman, Farida & R. Setiabudy, 1992, Fisiologi Hemostasis dan Fibrinolisis, dalam : Setiabudy, R. (ed.), 1992, Hemostasis dan Trombosis, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
  6. Ratnaningsih, T. dan Setyawati, 2003, Perbandingan Antara hitung Trombosit Metode Langsung dan Tidak Langsung Pada Trombositopenia, Berkala Kesehatan Klinik, Vol. IX, No. 1, Juni 2003, RS Dr. Sardjito, Yogyakarta.
  7. Ratnaningsih, T. dan Usi Sukorini, 2005, Pengaruh Konsentrasi Na2EDTA Terhadap Perubahan Parameter Hematologi, FK UGM, Yogyakarta.
  8. Sacher, Ronald A. dan Richard A. McPherson, alih bahasa : Brahm U. Pendit dan Dewi Wulandari, editor : Huriawati Hartanto, 2004,Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 11, EGC, Jakarta.
  9. Widmann, Frances K., alih bahasa : S. Boedina Kresno dkk., 1992,Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 9, cetakan ke-1, EGC, Jakarta, hlm. 117-132.
  10. Kee, Joyce LeFever, 2007, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik, Edisi 6, EGC, Jakarta.

Masa Perdarahan

Waktu perdarahan (bleeding time, BT) adalah uji laboratorium untuk menentukan lamanya tubuh menghentikan perdarahan akibat trauma yang dibuat secara laboratoris. Pemeriksaan ini mengukur hemostasis dan koagulasi. Masa perdarahan tergantung atas : ketepatgunaan cairan jaringan dalam memacu koagulasi, fungsi pembuluh darah kapiler dan trombosit. Pemeriksaan ini terutama mengenai trombosit, yaitu jumlah dan kemampuan untuk adhesi pada jaringan subendotel dan membentuk agregasi. Bila trombosit

Prinsip pemeriksaan ini adalah menghitung lamanya perdarahan sejak terjadi luka kecil pada permukaan kulit dan dilakukan dalam kondisi yang standard. Ada 2 teknik yang dapat digunakan, yaitu teknik Ivy dan Duke. Kepekaan teknik Ivy lebih baik dengan nilai normal 1-6 menit. Teknik Duke nilai normal 1-8 menit. Teknik Ivy menggunakan lengan bawah untuk insisi merupakan teknik yang paling terkenal. Aspirin dan antiinflamasi dapat memperlama waktu perdarahan.

Uji ini tidak boleh dilakukan jika penderita sedang mengkonsumsi antikoagulan atau aspirin; pengobatan harus ditangguhkan dulu selama 3 – 7 hari.


Prosedur
  1. Metode Ivy
    • Pasang manset tensimeter pada lengan atas pasien kemudian atur tekanan pada 40 mmHg. Tekanan ini dipertahankan hingga pemeriksaan selesai.
    • Pilih lokasi penusukan pada satu tempat kira-kira 3 cm di bawah lipat siku. Bersihkan lokasi tersebut dengan kapas alkohol 70 %, tunggu hingga kering.
    • Tusuk kulit dengan lancet sedalam 3 mm. Hindari menusuk vena.
    • Hidupkan stopwatch saat darah mulai keluar kemudian isap darah yang keluar dengan kertas saring setiap 30 detik.
    • Matikan stopwatch pada saat darah berhenti mengalir.
    • Kurangi tekanan hingga 0 mmHg lalu lepas manset tensimeter.
    • Hitung masa perdarahan dengan menghitung jumlah noktah darah yang ada pada kertas saring. Jika telah lewat 10 menit perdarahan masih berlangsung, maka hentikan pemeriksaan ini.
  2. Metode Duke
    • Bersihkan anak daun telinga dengan kapas alkohol 70 %, tunggu hingga kering.
    • Tusuk pinggir anak daun telinga dengan lancet sedalam 2 mm.
    • Hidupkan stopwatch saat darah mulai keluar kemudian isap darah yang keluar dengan kertas saring setiap 30 detik.
    • Matikan stopwatch pada saat darah berhenti mengalir.
    • Kurangi tekanan hingga 0 mmHg lalu lepas manset tensimeter.
    • Hitung masa perdarahan dengan menghitung jumlah noktah darah yang ada pada kertas saring.

Masalah Klinis 

HASIL MEMENDEK : Penyakit Hodgkin
HASIL MEMANJANG : idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), abnormalitas trombosit, abnormalitas vascular, leukemia, penyakit hati serius, disseminated intravascular coagulation (DIC), anemia aplastik, defisiensi faktor koagulasi (V, VII, XI). Pengaruh obat : salisilat (aspirin), dekstran, mitramisin, warfarin (Coumadin), streptokinase (streptodornasi, agens fibrinolitik).


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Metode yang digunakan; teknik yang tidak tepat – bila terjadi luka pungsi yang mungkin lebih dalam daripada yang seharusnya. Bila tetesan darah ditekan paksa pada permukaan kertas dan tidak menunggu tetesan darah benar-benar terisap dengan sendirinya pada kertas penghisap, hal ini dapat merusak partikel fibrin sehingga memperlama perdarahan.
  • Obat aspirin dan antikoagulan dapat memperlama perdarahan.

Masa Protombin Plasma

Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses pembekuan. Protrombin dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin yang diperlukan untuk membentuk bekuan darah.
Uji masa protrombin (prothrombin time, PT) untuk menilai kemampuan faktor koagulasi jalur ekstrinsik dan jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V (proakselerin), faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart). Perubahan faktor V dan VII akan memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari nilai normal. Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati tidak dapat mensintesis protrombin.

PT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi ekstrinsik dan bersama jika kadarnya <30% style="font-style: italic;">

International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) menganjurkan tromboplastin jaringan yang digunakan harus distandardisasi dengan tromboplastin rujukan dari WHO untuk mendapatkan International Sensitivity Index (ISI)International Normalized Ratio (INR) adalah satuan yang lazim digunakan untuk pemantauan pemakaian antikoagulan oral. INR didadapatkan dengan membagi nilai PT yang didapat dengan nilai PT normal kemudian dipangkatkan dengan ISI. INR merupakan rancangan untuk memperbaiki proses pemantauan terhadap terapi warfarin sehingga INR digunakan sebagai uji terstandardisasi internasional untuk PT. INR dirancang untuk pemberian terapi warfarin jangka panjang dan hanya boleh digunakan setelah respons klien stabil terhadap warfarin. Stabilisasi memerlukan waktu sedikitnya seminggu. Standar INR tidak boleh digunakan jika klien baru memulai terapi warfarin guna menghindari hasil yang salah pada uji.


Penetapan
Bahan pemeriksaan untuk uji PT adalah plasma sitrat yang diperoleh dari sampel darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109M) dengan perbandingan 9:1. Darah sitrat harus diperiksa dalam waktu selambat-lambatnya 2 jam setelah pengambilan. Sampel dipusingkan selama 10 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma dipisahkan dan disimpan pada suhu 20 +5oC tahan 8 jam. Penyimpanan sampel plasma pada suhu 2-8oC menyebabkan teraktivasinya faktor VII (prokonvertin) oleh sistem kalikrein.

PT dapat diukur secara manual (visual), fotooptik atau elektromekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan cepat dan teliti.

Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma yang telah diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin jaringan dan ion kalsium. Reagen yang digunakan adalah kalsium tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan dalam larutan CaCl2. Beberapa jenis tromboplastin yang dapat dipergunakan misalnya :
  • Tromboplastin jaringan berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru atau otak dan paru dari kelinci dalam larutan CaCl2 dengan pengawet sodium azida (mis. Neoplastine CI plus)
  • Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2 dan pengawet (mis. Thromborel S).

Masalah Klinis 

HASIL MEMANJANG : Penyakit hati (sirosis hati, hepatitis, abses hati, kanker hati, jaundice), afibrinogenemia, defisiensi faktor koagulasi (II, V, VII, X), disseminated intravascular coagulation (DIC), fibrinolisis, hemorrhagic disease of the newborn (HDN), gangguan reabsorbsi usus. Pengaruh obat : treatmen vitamin K antagonis, antibiotic (penisilin, streptomisin, karbenisilin, kloramfenikol [Chloromycetin], kanamisin [Kantrex], neomisin, tetrasiklin), antikoagulan oral (warfarin, dikumarol), klorpromazin (Thorazine), klordiazepoksid (Librium), difenilhidantoin (Dilantin), heparin, metildopa (Aldomet), mitramisin, reserpin (Serpasil), fenilbutazon (Butazolidin), quinidin, salisilat (aspirin), sulfonamide.

HASIL MEMENDEK : tromboflebitis, infark miokardial, embolisme pulmonal.Pengaruh Obat : barbiturate, digitalis, diuretic, difenhidramin (Benadryl), kontrasepsi oral, rifampin, metaproterenol (Alupent, Metaprel).


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Sampel darah membeku,
  • Membiarkan sampel darah sitrat disimpan pada suhu kamar selama beberapa jam,
  • Diet tinggi lemak (pemendekan PT) dan penggunaan alkohol (pemanjangan PT) dapat menyebabkan perubahan endogen dari produksi PT.

Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi

Tromboplastin parsial adalah fosfolipid yang berfungsi sebagai penggantiplatelet factor 3 (PF3), dapat berasal dari manusia, tumbuhan dan hewan, dengan aktivator seperti kaolin, ellagic acidmicronized silica atau celite. Reagen komersil yang dipakai misalnya CK Prest 2 yang berasal dari jaringan otak kelinci dengan kaolin sebagai aktivator. Reagen Patrhrombin SL menggunakan fosfolipid dari tumbuhan dengan aktivator micronized silica.

Masa tromboplastin parsial teraktivasi (activated partial thromboplastin time, APTT) adalah uji laboratorium untuk menilai aktifitas faktor koagulasi jalur intrinsik dan jalur bersama, yaitu faktor XII (faktor Hagemen), pre-kalikrein,kininogen, faktor XI (plasma tromboplastin antecendent, PTA), faktor IX (factor Christmas), faktor VIII (antihemophilic factor, AHF), faktor X (faktor Stuart), faktor V (proakselerin), faktor II (protrombin) dan faktor I(fibrinogen). Tes ini untuk monitoring terapi heparin atau adanya circulating anticoagulant. APTT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi instrinsik dan bersama jika kadarnya <> 7 detik dari nilai normal, maka hasil pemeriksaan itu dianggap abnormal.

APTT memanjang dijumpai pada :
  1. Defisiensi bawaan
    • Jika PPT normal kemungkinan kekurangan :
      • Faktor VIII
      • Faktor IX
      • Faktor XI
      • Faktor XII
    • Jika faktor-faktor koagulasi tersebut normal, kemungkinan kekurangan HMW kininogen (Fitzgerald factor)
    • Defisiensi vitamin K, defisiensi protrombin, hipofibrinogenemia.
  2. Defisiensi didapat dan kondisi abnormal seperti :
    • Penyakit hati (sirosis hati)
    • Leukemia (mielositik, monositik)
    • Penyakit von Willebrand (hemophilia vaskular)
    • Malaria
    • Koagulopati konsumtif, seperti pada disseminated intravascular coagulation (DIC)
    • Circulating anticoagulant (antiprothrombinase atau circulating anticoagulant terhadap suatu faktor koagulasi)
    • Selama terapi antikoagulan oral atau heparin


Penetapan

Pemeriksaan APTT dapat dilakukan dengan cara manual (visual) atau dengan alat otomatis (koagulometer), yang menggunakan metode foto-optik dan elektro-mekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan cepat dan teliti.

Prinsip dari uji APTT adalah menginkubasikan plasma sitrat yang mengandung semua faktor koagulasi intrinsik kecuali kalsium dan trombosit dengan tromboplastin parsial (fosfolipid) dengan bahan pengaktif (mis. kaolin, ellagic acidmikronized silica atau celite koloidal). Setelah ditambah kalsium maka akan terjadi bekuan fibrin. Waktu koagulasi dicatat sebagai APTT.

Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109M) dengan perbandingan 9:1. Gunakan tabung plastik atau gelas yang dilapisi silikon. Sampel dipusingkan selama 15 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma dipisahkan dalam tabung plastik tahan 4 jam pada suhu 20±5oC. Jika dalam terapi heparin, plasma masih stabil dalam 2 jam pada suhu 20±5oC kalau sampling dengan antikoagulan citrate dan 4 jam pada suhu 20±5oC kalau sampling dengan tabung CTAD.


Nilai Rujukan

Nilai normal uji APTT adalah 20 – 35 detik, namun hasil ini bisa bervariasi untuk tiap laboratorium tergantung pada peralatan dan reagen yang digunakan.


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Pembekuan sampel darah,
  • Sampel darah hemolisis atau berbusa akibat dikocok-kocok,
  • Pengambilan sampel darah pada intravena-lines (mis. pada infus heparin).

Fibrinogen

Fibrinogen adalah glikoprotein dengan berat molekul mencapai 340.000 dalton. Fibrinogen disintesis di hati (1,7-5 g/hari) dan oleh megakariosit. Di dalam plasma kadarnya sekitar 200-400 mg/dl. Waktu paruh fibrinogen sekitar 3-5 hari.

Fibrinogen tersusun atas 6 rantai, yaitu : 2 rantai Aα, 2 rantai Bβ dan 2 rantai γ. Trombin (FIIa) memecah molekul fibrinogen menjadi 2 fibrinopeptide A (FPA) dari rantai Aα dan 2 fibrinopeptide B (FPB) dari rantai Bβ. Fibrin monomer yang dihasilkan dari reaksi ini kemudian berlekatan membentuk fibrin, yang selanjutnya distabilkan oleh factor XIIIa. Tahap pertama stabilisasi terdiri atas ikatan dua rantai γ dari dua fibrin monomer. Ikatan ini adalah asal dari D-Dimer, produk degradasi fibrin spesifik. Fibrinogen dapat didegradasi oleh plasmin.


Penetapan

Pengukuran kadar fibrinogen dapat dilakukan secara manual (visual), foto optik atau elektro mekanik. Pemeriksaan ini menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma yang diencerkan ditambahkan thrombin. Waktu pembekuan dari plasma terdilusi berbanding terbalik dengan kadar fibrinogen.

Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109M) dengan perbandingan 9:1. Gunakan tabung plastik atau gelas yang dilapisi silikon. Sampel dipusingkan selama 10 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma dipisahkan dalam tabung plastik tahan 8 jam pada suhu 20±5oC.


Masalah Klinis

PENURUNAN KADAR : DIC, fibrinogenolisis, hipofibrinogenemia, komplikasi obstetrik, penyakit hati berat, leukemia. Pada dasarnya, masa protrombin (PPT) dan masa tromboplastin parsial (APTT) yang memanjang serta trombosit yang rendah menandakan terjadinya defisiensi fibrinogen dan juga merupakan tanda DIC. Produk degradasi fibrin (fibrin degradation product, FDP) biasanya diukur untuk memastikan terjadinya DIC.

PENINGKATAN KADAR
 : infeksi akut, penyakit kolagen, diabetes, sindroma inflamatori, obesitas. Pengaruh obat : kontrasepsi oral, heparin.


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Trauma paskabedah dan kehamilan trimester ketiga dapat menyebabkan temuan positif keliru dari peningkatan kadar fibrinogen,
  • Hemolisis sampel dapat menyebabkan temuan yang tidak akurat,
  • Kontrasepsi oral dan heparin dapat meningkatkan temuan uji.

Pengukuran D-dimer

D-Dimer adalah suatu fragmen degradasi fibrin yang dihasilkan setelah berlangsung fibrinolisis. Dinamakan demikian karena mengandung dua fragmen silang D protein fibrin. Kadar D-dimer digunakan untuk membantu mendiagnosis trombosis. Sejak diperkenalkan pada tahun 1990-an, ia telah menjadi tes penting yang dilakukan pada pasien yang diduga terdapat gangguan trombotik.

Bila vena atau arteri yang terluka dan darah mulai bocor, maka faktor-faktor pembekuan diaktifkan dalam urutan langkah-langkah pembekuan (disebut kaskade koagulasi) untuk membatasi pendarahan dan menciptakan gumpalan yang menyumbat luka. Gumpalan tersebut adalah benang protein yang disebut fibrin.

Setelah memiliki waktu untuk menyembuhkan daerah cedera tersebut, tubuh menggunakan protein yang disebut plasmin untuk memecahkan gumpalan (thrombus) menjadi bagian-bagian kecil sehingga dapat dibersihkan. Proses tersebut dinamakan fibrinolisis yang menghasilkan fragmen-fragmen yang disebut produk degradasi fibrin (fibrin degradation product, FDP). Salah satu produk degradasi fibrin tersebut adalah D-dimer. Pengukuran D-dimer dapat memberitahu bahwa telah terjadi proses yang abnormal pada mekanisme pembekuan darah.

Pengukuran D-Dimer diindikasikan apabila ada dugaan trombosis vena dalam (deep vein trombosis, DVT), emboli paru (pulmonary embolus/embolism, PE), pembekuan intravaskuler menyeluruh (disseminated intravascular coagulation, DIC), arterial thromboemboli, infark myocard, dll


PROSEDUR

Metode

Pengukuran D-dimer dapat dilakukan dengan cara aglutinasi atau imunometrik menggunakan antibodi monoklonal spesifik terhadap D-dimer. Pada cara aglutinasi, plasma penderita yang mengandung D-dimer direaksikan dengan partikel latex yang dilapisi antibodi monoklonal spesifik terhadap D-dimer membentuk gumpalan. Penentuan titer D-dimer dilakukan dengan mengencerkan plasma dengan buffer lalu mencampurnya dengan partikel latex. Titer D-dimer adalah pengenceran plasma tertinggi yang masih menunjukkan gumpalan.

Pengukuran secara imunometrik, plasma penderita yang mengandung D-dimer diteteskan pada suatu membran yang dilapisi antibodi monoklonal D-dimer dan kemudian ditambah konjugat yang mengandung partikel berwarna. Penentuan kadar D-dimer dilakukan dengan mengukur intensitas warna yang dihasilkan.

Spesimen

Spesimen yang diperlukan untuk pengukuran D-dimer adalah plasma citrat 9:1. Kumpulkan darah vena dalm tabung bertutup biru (citrat). Cegah jangan sampai hemolisis; campur spesimen dengan lembut dengan membolak-balikkan tabung secara perlahan, tabung jangan dikocok. Spesimen dipusingkan selama 15 menit pada 4000 rpm. Pisahkan plasmanya.


NILAI RUJUKAN

Hasil normal : negatif atau kurang dari 300 ng/ml



MASALAH KLINIS

Tes D-dimer yang dipesan bersama dengan tes laboratorium lainnya dan scan imaging, untuk membantu menyingkirkan, mendiagnosa, dan memantau penyakit dan kondisi yang menyebabkan hiperkoagulabilitas, kecenderungan untuk membeku yang tidak normal. Salah satu yang paling umum dari kondisi-kondisi ini adalah trombosis vena dalam (DVT), yang melibatkan pembentukan gumpalan dalam pembuluh darah dalam tubuh, yang paling sering di kaki. Gumpalan ini dapat menjadi sangat besar dan menyumbat aliran darah di kaki, menyebabkan pembengkakan, nyeri, dan kerusakan jaringan. Gumpalan ini dapat saja patah menjadi potongan bekuan (disebut embolus) dan berjalan ke bagian lain dari tubuh (mis. paru-paru), di mana gumpalan dapat menyebabkan embolus atau emboli paru (PE).

Gumpalan juga dapat terbentuk di daerah lain, misalnya di arteri koroner yang menyebabkan infark miokard (serangan jantung). Gumpalan juga bisa terbentuk di dalam saluran atau katup jantung, terutama ketika jantung berdetak tidak teratur (fibrilasi atrial) atau ketika katup rusak. Pembekuan juga dapat terbentuk di arteri besar sebagai akibat dari kerusakan dari aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah). Gumpalan seperti potongan-potongan mungkin juga patah dan menyebabkan embolus yang menghalangi pembuluh nadi di organ lain, seperti otak (menyebabkan stroke) atau ginjal.

Pemeriksaan D-dimer dapat diminta ketika pasien memiliki gejala DVT, seperti nyeri kaki, pembengkakan, perubahan warna, edema, atau gejala PE, seperti sesak nafas, batuk, dan nyeri dada yang berhubungan dengan paru-paru. D-dimer sangat berguna ketika dokter berpendapat bahwa sesuatu selain DVT atau PE menyebabkan gejala.

Pengukuran D-dimer bersama dengan tes lainnya (PT, aPTT, fibrinogen dan hitung trombosit) juga digunakan untuk membantu mendiagnosis DIC. DIC adalah suatu sindroma dimana terjadi pembentukan fibrin yang menyebar di pembuluh darah yang terjadi sebagai akibat pembentukan trombin. Proses ini diawali dengan munculnya aktifitas faktor pembekuan dalam sirkulasi yang akhirnya diikuti dengan fibrinolisis sekunder. DIC merupakan suatu kondisi yang kompleks yang dapat timbul dari berbagai situasi, seperti :
  • solusio plasenta, abruptio placenta, embolus cairan ketuban, trauma, sindrom emboli lemak, sepsis, leukemia promielositik, sindrom retensi janin meninggal, hemolisis intravascular akut, bedah pintas kardiopulmonal
  • penyakit kompleks imun, penyakit hati, sengatan panas (heat stroke), luka bakar, vaskulitis, anoksia, asidosis
  • pankreatitis akut, syok septik, gigitan ular berbisa, kehamilan, eklampsia, penyakit jantung, beberapa jenis kanker, pasca persalinan.

Pada DIC, faktor-faktor pembekuan diaktifkan dan kemudian digunakan di seluruh tubuh. Hal ini menciptakan gumpalan darah di banyak tempat dan pada saat yang sama pasien rentan terhadap perdarahan yang berlebihan. Seorang pasien menunjukkan gejala DIC, seperti pendarahan gusi, mual, muntah, otot parah dan nyeri perut, kejang dan Oliguria (penurunan output urin). Kadar D-dimer dapat digunakan untuk memantau efektivitas pengobatan DIC. 


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium 
  • Terapi antikoagulan dapat menyebabkan temuan negatif palsu
  • Kadar D-dimer akan meningkat pada orang lanjut usia
  • Hasil positif palsu dapat dijumpai pada pasien dengan rheumatoid arthritis (kadar faktor rheumatoid tinggi)
  • Hipertrigliseridemi atau lipemia dan hiperbilirubinemia dapat menyebabkan temuan positif palsu
  • Sampel hemolisis disebabkan oleh pengumpulan dan penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan temuan positif palsu.

Protein C-Reaktif

Protein C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke dalam aliran darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses inflamasi akut dan destruksi jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam. Seperti halnya uji laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR), CRP merupakan uji non-spesifik tetapi keberadaan CRP mendahului peningkatan LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke kadar normalnya.

CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein fase akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Beberapa keadaan dimana CRP dapat dijumpai meningkat adalah radang sendi (rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung (pelvic inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, infeksi bakterial.
CRP juga meningkat pada kehamilan trimester akhir, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus dan pengaruh obat kontrasepsi oral.

Tes CRP seringkali dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi dan menentukan apakah pengobatan yang dilakukan efektif. CRP juga digunakan untuk memantau penyembuhan luka dan untuk memantau pasien paska bedah, transplantasi organ, atau luka bakar sebagai sistem deteksi dini untuk kemungkinan infeksi.

High sensitive-CRP (hs-CRP)

Uji ini dapat mendeteksi inflamasi yang terjadi akibat pembentukan plak aterosklerotik pada pembuluh arteri koroner. hsCRP merupakan uji laboratorium yang sangat sensitif untuk resiko penyakit kardiovaskuler. Uji ini sering dilakukan bersama-sama dengan tes profil lipid (kolesterol, trigliserid, HDL, LDL). Nilai hsCRP positif jauh lebih rendah daripada nilai standar CRP serum sehingga uji ini menjadi lebih berguna dalam mendeteksi risiko penyakit jantung koroner (coronary heart disease, CHD), stroke, dan penyakit arteri perifer.

American Heart Association dan US Centers for Disease Control and Prevention telah menetapkan kelompok risiko sebagai berikut:
  • Risiko rendah : kurang dari 1,0 mg / L
  • Risiko rata-rata : 1,0-3,0 mg / L
  • Risiko tinggi : di atas 3,0 mg / L
Nilai-nilai tersebut hanya merupakan bagian dari proses evaluasi untuk penyakit kardiovaskuler.Tambahan faktor-faktor risiko yang perlu dipertimbangkan adalah peningkatan kadar kolesterol, LDL, trigliserida, dan glukosa. Selain itu, merokok, tekanan darah tinggi (hipertensi), dan diabetes juga meningkatkan tingkat risiko.


Prosedur

Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi.

Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna menggunakan Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma,whole blood) dan konjugat diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada level patologis, maka akan terbentuk warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proporsional terhadap kadar. Intensitas warna diukur secara kuantitatif menggunakan NycoCard reader II.

Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah < 5 mg/L. Nilai rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan metode yang digunakan.

Faktor Reumatoid

Faktor reumatoid (rheumatoid factor, RF) adalah immunoglobulin yang bereaksi dengan molekul IgG. Karena penderita juga mengandung IgG dalam serum, maka RF termasuk autoantibodi. Faktor penyebab timbulnya RF ini belum diketahui pasti, walaupun aktivasi komplemen akibat adanya interaksi RF dengan IgG memegang peranan yang penting pada rematik artritis (rheumatoid arthritis, RA) dan penyakit-penyakit lain dengan RF positif. Sebagian besar RF adalah IgM, tetapi dapat juga berupa IgG atau IgA.

RF positif ditemukan pada 80% penderita rematik artritis. Kadar RF yang sangat tinggi menandakan prognosis yang buruk dengan kelainan sendi yang berat dan kemungkinan komplikasi sistemik.

RF sering dijumpai pada penyakit autoimun lain, seperti LE, scleroderma, dermatomiositis, tetapi kadarnya biasanya lebih rendah dibanding kadar RF pada rematik arthritis. Kadar RF yang rendah juga dijumpai pada penyakit non-imunologis dan orang tua (di atas 65 tahun).

Uji RF tidak digunakan untuk pemantauan pengobatan karena hasil tes sering dijumpai tetap positif, walaupun telah terjadi pemulihan klinis. Selain itu, diperlukan waktu sekitar 6 bulan untuk peningkatan titer yang signifikan. Untuk diagnosis dan evaluasi RA sering digunakan tes CRP dan ANA.

Uji RF untuk serum penderita diperiksa dengan menggunakan metode latex aglutinasi atau nephelometry.


Nilai Rujukan
DEWASA
 : penyakit inflamasi kronis; 1/20-1/80 positif untuk keadaan rheumatoid arthritis dan penyakit lain; > 1/80 positif untuk rheumatoid arthritis.
ANAK : biasanya tidak dilakukan
LANSIA : sedikit meningkat

*Nilai rujukan mungkin bisa berbeda untuk tiap laboratorium, tergantung metode yang digunakan.


Masalah Klinis 
PENINGKATAN KADAR : rematik arthritis, LE, dermatomiositis, scleroderma, mononucleosis infeksiosa, leukemia, tuberculosis, sarkoidosis, sirosis hati, hepatitis, sifilis, infeksi kronis, lansia.


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Hasil uji RF sering tetap didapati positif, tanpa terpengaruh apakah telah terjadi pemulihan klinis.
  • Hasil uji RF bisa positif pada berbagai masalah klinis, seperti penyakit kolagen, kanker, sirosis hati.
  • Lansia dapat mengalami peningkatan titer RF, tanpa menderita penyakit apapun.
  • Akibat keanekaragaman dalam sensitivitas dan spesifisitas uji skrining ini, temuan positif harus diinterpretasikan berdasarkan bukti yang terdapat dalam status klinis pasien.

Anti Steptolisin O (ASO)

Streptokokus grup A (Stretokokus beta hemolitik) dapat menghasilkan berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibodi. Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak mempunyai dampak perlindungan, tetapi adanya antibodi itu dalam serum menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja terdapat streptokokus yang aktif. Antibodi yang dibentuk adalah : antistreptolisin O (ASO), antihialuronidase (AH), antistreptokinase (anti-SK), anti-desoksiribonuklease B (AND-B) , dan anti nikotinamid adenine dinukleotidase (anti-NADase)

Tes ASO paling banyak digunakan; hasil tes ini positif pada 80% faringitis streptokokus; presentasi ini lebih rendah pada infeksi kulit. ASO muncul kira-kira 1-2 minggu setelah infeksi streptokokus akut, memuncak 3-4 minggu setelah awitan, dan tetap tinggi selama berbulan-bulan. Kadar ASO menurun sampai kadar sebelum sakit dalam waktu 6-12 bulan. ASO positif juga sering dijumpai pada glomerulonefritis, demam rematik, enokarditis bakterial, dan scarlet fever. Banyak anak usia sekolah memiliki kadar titer ASO yang lebih tinggi daripada anak usia pra sekolah dan dewasa.

Tes ASO yang tinggi (tunggal) memberi kesan adanya infeksi streptokokus yang baru lewat atau sedang berjalan.


Nilai Rujukan
  • DEWASA : <>
  • ANAK
     : Bayi baru lahir : sama dengan dosis ibunya, Usia 2 – 5 tahun : < style="font-style: italic;">Usia 12 – 19 tahun

Masalah Klinis
PENURUNAN KADAR
 : pengaruh obat (antibiotic)
PENINGKATAN KADAR
 : demam rematik akut, glomerulonefritis akut, infeksi streptokokus pada saluran pernapasan atas, arthritis rheumatoid (kadarnya agak naik), penyakit hati disertai dengan hiperglobulinemia, penyakit kolagen (kadarnya agak naik).


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Terapi antibiotik dapat menurunkan respon antibodi,
  • Peningkatan kadar dapat terjadi pada orang sehat.

Hepatitis

Lima jenis virus hepatitis yang dapat dideteksi dengan uji laboratorium, yaitu : virus hepatitis A (hepatitis A virus, HAV), virus hepatitis B (hepatitis B virus, HBV), virus hepatitis C (hepatitis C virus, HCV), virus hepatitis D (hepatitis D virus, HDV), dan virus hepatitis E (hepatitis E virus, HEV). Virus hepatitis dapat dideteksi dengan pengujian antigen serum, antibodi, DNA, RNA, dan/atau immunoglobulin (IgG dan IgM).

Perbedaan virus-virus hepatitis berdasarkan metode transmisi, masa inkubasi,; ikterik, fase akut dan kronis dari penyakit, status carrier, imunitas, dan laju mortalitas adalah sebagai berikut :
  • Virus Hepatitis A (HAV)
    Virus hepatitis A terutama ditransmisikan lewat kontak fekal-oral. Ikterik merupakan tanda awal HAV yang dapat terjadi beberapa hari setelah infeksi virus dan dapat berlangsung selama 12 minggu. Antibodi terhadap HAV, yaitu IgM anti HAV dan IgG anti-HAV digunakan untuk mengkonfirmasi fase infeksi hepatitis A. IgM anti-HAV mengindikasikan fase akut infeksi (infeksi sedang berlangsung); muncul di awal infeksi dan menghilang dalam 2-3 bulan. IgG anti-HAV muncul lebih lambat dan mengindikasikan fase pemulihan, pasca infeksi, atau imunitas. Sekitar 45-50 % penderita HAV dapat memiliki IgG anti-HAV yang menetap seumur hidupnya.
  • Virus Hepatitis B (HBV)
    Virus hepatitis B jga disebut hepatitis serum. Terdapat berbagai uji serologik untuk mendiagnosis HBV dan untuk mengetahui daya tular serta prognosis penderita. Uji-uji yang tersedia secara komersial meliputi pemeriksaan antigen permukaan hepatitis B (hepatitis B surface antigen, HBsAg), antibodi HBsAg (anti-HBs), antibodi inti hepatitis B (anti HBc), antibodi IgM spesifik inti hepatitis B (IgM anti HBc), antigen e hepatitis B (HBeAg), antibodi e hepatitis B (anti-HBe).
    • Antigen permukaan hepatitis (HBsAg)
      Indikator paling awal untuk mendiagnosis infeksi virus hepatitis B adalah antigen permukaan hepatitis B (HBsAg). Penanda serum ini dapat muncul sekitar 2 minggu setelah penderita terinfeksi, dan akan tetap ada selama fase akut infeksi sampai terbentuk anti-HBs. Jika penanda serum ini tetap ada selam 6 bulan, hepatitis dapat menjadi kronis dan penderita dapat menjadi carrier. Vaksin hepatitis B tidak akan menyebabkan HBsAg positif. Penderita HBsAg positif tidak boleh mendonorkan darah.
    • Antibodi antigen permukaan hepatitis B (anti-HBs)
      Fase akut hepatitis B biasanya berlangsung selama 12 minggu, oleh karena itu HBsAg tidak didapati dan terbentuk anti-HBs. Penanda serum ini mengindikasikan pemulihan dan imunitas terhadp virus hepatitis B. IgM anti-HBs akan menentukan apakah penderita masih dalam keadaan infeksius. Titer anti-HBs >10 mIU/ml dan tanpa keberadaan HBsAg, menunjukkan bahwa penderita telah pulih dari infeksi HBV.
    • Antigen e hepatitis B (HBeAg)
      Penanda serum ini hanya akan terjadi jika telah ditemukan HBsAg. Biasanya muncul 1 minggu setelah HBsAg ditemukan dan menghilang sebelum muncul anti-HBs. Jika HBeAg serum masih ada setelah 10 minggu, penderita dinyatakan sebagai carrier kronis.
    • Antibodi antigen HBeAG (anti-HBe)
      Bila terdapat anti-HBe, hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pemulihan dan imunitas terhadap infeksi HBV.
    • Antibodi antigen inti (anti-HBc)
      Anti HBc terjadi bersamaan dengan temuan HBsAg positif kira-kira 4-10 minggu pada fase HBV akut. Peningkatan titer IgM anti-HBc mengindikasikan proses infeksi akut. Anti-HBc dapat mendeteksi penderita yang telah terinfeksi HBV. Penanda serum ini dapat tetap ada selama bertahun-tahun, dan penderita yang memiliki anti-HBc positif tidak boleh mendonorkan darahnya.
      Pemeriksaan anti-HBc dan IgM anti-HBc sangat bermanfaat untuk mendiagnosis infeksi HBV selama “window period” antara hilangnya HBsAg dan munculnya anti-HBs.
  • Virus Hepatitis C (HCV)
    Istilah HBC sebelumnya dikenal dengan sebutan hepatitis non-A non-B. Virus ini ditransmisikan secara parenteral. Kasus ini lebih sering terjadi pada kasus pasca transfusi, tetapi juga perlu dipertimbangkan pada ketergantungan obat, tusukan jarum, hemodialisis, dan hemophilia. Kira-kira setengah dari kasus HCV akut menjadi carrier kronis.
    Antibodi virus hepatitis C (anti-HCV) : HCV dikonfirmasi dengan uji anti-HCV. Anti-HCV tidak mengindikasikan imunitas seperti yang dihasilkan oleh anti-HBs dan anti-HBe.
  • Virus Hepatitis D (HDV)
    Virus hepatitis D (delta) adalah suatu virus cacat yang hanya dapat menginfeksi penderita yang sudah mengalami infeksi HBV aktif. Virus ini ditransmisikan secara parenteral. Virus ini diselubungi oleh HBsAG, dan bergantung pada HBV untuk terjadinya replikasi. Infeksi HDV biasanya berat dan terjadi 7-14 hari setelah infeksi HBV yang akut dan parah. Infeksi HDV ini memiliki angka kejadian yang rendah, kecuali pada penyalahgunaan obat intravena, dan penderita yang menerima transfusi ganda. Infeksi HDV timbul sebagai fase akut HBV atau sebagai carrier kronis infeksi HBV. Dari semua jenis infeksi hepatitis, HDV merupakan hepatitis fulminas serta menimbulkan angka kematian yang tinggi.
    Antigen Hepatitis D (HDAg) : Deteksi HDAg dan HDV-RNA mengindikasikan fase akut HBV dan infeksi HDV. Ketika HBsAg hilang diikuti HDAg, anti-HDV timbul kemudian dan dapat mengindikasikan hepatitis D kronis.
  • Virus Hepatitis E (HEV)
    HEV ditransmisikan secara fekal-oral dan bukan parenteral. Hepatitis E terjadi akibat meminum air yang tidak bersih dan juga saat bepergian ke daerah Meksiko, Rusia, India, atau Afrika. Antibodi terhadap hepatitis E (anti-HEV) digunakan untuk mendeteksi infeksi hepatitis E.

Dihimpun dari :
  1. Kee, Joyce LeFever, 2007, alih bahasa : Sari Kurnianingsih et.al., Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik, edisi 6, EGC, Jakarta.
  2. Sacher, Ronald A. & Richard A. McPherson, alih bahasa : Brahm U. Pendit & Dewi Wulandari, 2004, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11, EGC, Jakarta.
  3. Widmann, Frances K., alih bahasa : S. Boedina Kresno, dkk., 1992, Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, EGC, Jakarta.

Antibodi Virus Hepatitis A (Anti HAV)

Virus hepatitis A merupakan Enterovirus RNA berukuran 27 nm, bentuk kubus dan simetris. Penyakit hepatitis A dulu dinamakan hepatitis infeksiosa atau hepatitis berinkubasi pendek. Penularan virus hampir selalu melalui jalur fekal-oral. Masa inkubasi untuk HAV biasanya 2-6 minggu. HAV tidak tidak berhubungan dengan penyakit hati kronis.

Diagnosis hepatitis A dibuat atas pengamatan klinis dan laboratorium. Penderita lesu, anoreksia, demam dan mual. Aminotransferase dan bilirubinemia hampir selalu ada; fosfatase alkali dan bilirubin direk sering tinggi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan uji serologis.

IgM anti-HAV bermanfaat untuk mendiagnosis infeksi sedang terjadi. IgM anti-HAV muncul pada awal infeksi dan menghilang dalam 2 sampai 3 bulan. IgG anti-HAV timbul pada masa pasca infeksi atau pemulihan (>4 minggu), dan biasanya menetap sumur hidup. Pemeriksaan untuk anti-HAV total sebaiknya digunakan untuk menyaring infeksi lama dan pembuktian adanya imunitas pada orang yang mengunjungi daerah berisiko tinggi atau melakukan pekerjaan berisiko tinggi.



PROSEDUR

Metode
Antibodi terhadap hepatitis A dapat ditemukan dengan tehnik immunoassay, seperti enzyme immunoassay (EIA), enzyme linked immunoassay (ELISA), enzyme linked fluorescent assay (ELFA), atau radioimmunoassay (RIA). Membuktikan adanya viremia tidak mungkin, sedangkan untuk menyatakan virus dalam tinja diperlukan pemeriksaan mikroskop elektron.

Spesimen
Spesimen yang digunakan untuk deteksi anti HAV adalah serum atau plasma (lithium heparin, EDTA, dan sitrat). Kumpulkan 3-5 ml darah vena dalam tabung bertutup merah (tanpa antikoagulan), tutup hijau (heparin), tutup ungu (EDTA) atau tutup biru (sitrat). Pusingkan sampel darah, dan pisahkan serum atau plasma dari darah untuk diperiksa laboratorium.
Tidak ada pembatasan asupan makanan atau cairan.
Spesimen hemolisis, lipemia, atau ikterik (hiperbilirubinemia) dapat mempengaruhi pengujian. Jika memungkinkan, pengambilan sampel darah yang baru.
Spesimen dapat disimpan pada suhu 2-8oC sampai dengan 7 hari, dan untuk waktu yang lama dapat disimpan beku pada suhu -25 ± 6oC. Hindari pembekuan dan pencairan (thawing) spesimen berkali-kali.


NILAI RUJUKAN
Tidak terdeteksi (negatif)


MASALAH KLINIS
Hasil positif : infeksi virus hepatitis A (HAV)


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium
• Pigmentasi specimen (hemolisis, lipemia, ikterik) dapat mempengaruhi hasil pembacaan

Antigen Permukaan Hepatitis B (HBsAg)

Antigen permukaan virus hepatitis B (hepatitis B surface antigen, HBsAg) merupakan material permukaan dari virus hepatitis B. Pada awalnya antigen ini dinamakan antigen Australia karena pertama kalinya diisolasi oleh seorang dokter peneliti Amerika, Baruch S. Blumberg dari serum orang Australia.

HBsAg merupakan petanda serologik infeksi virus hepatitis B pertama yang muncul di dalam serum dan mulai terdeteksi antara 1 sampai 12 minggu pasca infeksi, mendahului munculnya gejala klinik serta meningkatnya SGPT. Selanjutnya HBsAg merupakan satu-satunya petanda serologik selama 3 – 5 minggu. Pada kasus yang sembuh, HBsAg akan hilang antara 3 sampai 6 bulan pasca infeksi sedangkan pada kasus kronis, HBsAg akan tetap terdeteksi sampai lebih dari 6 bulan. HBsAg positif yang persisten lebih dari 6 bulan didefinisikan sebagai pembawa (carrier). Sekitar 10% penderita yang memiliki HBsAg positif adalah carrier, dan hasil uji dapat tetap positif selam bertahun-tahun.

Pemeriksaan HBsAg berguna untuk diagnosa infeksi virus hepatitis B, baik untuk keperluan klinis maupun epidemiologik, skrining darah di unit-unit transfusi darah, serta digunakan pada evaluasi terapi hepatitis B kronis. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menetapkan bahwa hepatitis akut yang diderita disebabkan oleh virus B atau superinfeksi dengan virus lain.

HBsAg positif dengan IgM anti HBc dan HBeAg positif menunjukkan infeksi virus hepatitis B akut. HBsAg positif dengan IgG anti HBc dan HBeAg positif menunjukkan infeksi virus hepatitis B kronis dengan replikasi aktif. HBsAg positif dengan IgG anti HBc dan anti-HBe positif menunjukkan infeksi virus hepatitis B kronis dengan replikasi rendah.

Pemeriksaan HbsAg secara rutin dilakukan pada pendonor darah untuk mengidentifikasi antigen hepatitis B. Transmisi hepatitis B melalui transfusi sudah hampir tidak terdapat lagi berkat screening HbsAg pada darah pendonor. Namun, meskipun insiden hepatitis B terkait transfusi sudah menurun, angka kejadian hepatitis B tetap tinggi. Hal ini terkait dengan transmisi virus hepatitis B melalui beberapa jalur, yaitu parenteral, perinatal, atau kontak seksual. Orang yang berisiko tinggi terkena infeksi hepatitis B adalah orang yang bekerja di sarana kesehatan, ketergatungan obat, suka berganti-ganti pasangan seksual, sering mendapat transfusi, hemodialisa, bayi baru lahir yang tertular dari ibunya yang menderita hepatitis B.


PROSEDUR

Metode

HBsAg dalam darah dapat dideteksi dengan tehnik enzyme immunoassay (EIA), enzyme linked immunoassay (ELISA), enzyme linked fluorescent assay (ELFA), atau immunochromatography test (ICT).

Spesimen
Spesimen yang digunakan untuk deteksi HBsAg adalah serum atau plasma heparin. Kumpulkan darah vena 3-5 ml dalam tabung tutup merah atau tutup kuning dengan gel separator, atau dalam tabung tutup hijau (lithium heparin). Pusingkan sampel darah, lalu pisahkan serum atau plasma untuk diperiksa laboratorium.

Spesimen yang ikterik (hiperbilirubin sampai dengan 500 µmol/l), hemolisis (kadar hemoglobin sampai dengan 270 µmol/l), dan lipemik (sampai dengan 30 mg/dl) dapat mempengaruhi hasil pembacaan.

Sampel dapat disimpan pada suhu 2-8oC selama 5 hari, atau -25 ±6oC sampai dengan 2 bulan.


NILAI RUJUKAN

Dewasa dan Anak-anak : Negatif


MASALAH KLINIS

HBsAg positif dijumpai pada : Hepatitis B, Hepatitis B kronis. Kurang Umum: Hemofilia, sindrom Down, penyakit Hodgkin, leukemia. Pengaruh obat : ketergantungan obat.


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium

• Serum atau plasma ikterik, hemolisis, atau lipemik dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.

Anti HBs

Anti HBs merupakan antibodi spesifik untuk HBsAg, muncul di darah 1 sampai 4 bulan setelah terinfeksi virus hepatitis B. Anti HBs diinterpretasikan sebagai kekebalan atau dalam masa penyembuhan penyakit hepatitis B. Antibodi ini memberikan perlindungan terhadap penyakit hepatitis B.

Tes anti-Hbs positif juga dapat berarti seseorang pernah mendapat vaksin hepatitis B atau immunoglobulin. Hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang mendapat kekebalan dari ibunya. Anti-Hbs posistif pada individu yang tidak pernah mendapat imunisasi hepatatitis B menunjukkan bahwa individu tersebut pernah terinfeksi virus hepatitis B.

Dulu, diperkirakan HBsAg dan anti HBs tidak mungkin dijumpai bersama-sama, namun ternyata sepertiga carrier HBsAg juga memiliki anti-HBs. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi simultan dengan sub-tipe yang berbeda.


PROSEDUR

Metode

Anti-HBs dapat dideteksi dalam darah dengan beberapa tehnik imunoassay, diantaranya seperti enzyme immunoassay atau enzyme linked fluorescent assay (ELFA). Pada tehnik ELFA, anti-HBs dideteksi berdasarkan intensitas fluoresensi dari sampel setelah penambahan substrat yang mengandung zat fluorescen.

Spesimen

Untuk mendeteksi anti-HBs dapat digunakan serum atau plasma heparin. Sebanyak 3-5 ml darah vena diambil dan dikumpulkan dalam tabung tutup merah atau tutup kuning dengan gel separator, atau tabung tutup hijau (lithium heparin). Sampel darah dipusingkan, lalu serum atau plasmanya dipisahkan untuk diperiksa laboratorium.

Setelah dipisahkan dari bekuan, sampel serum atau plasma dapat disimpan pada suhu 2-8'C dan dapat bertahan selama 5 hari. Jika disimpan pada suhu -25 ±6'C tahan selama 2 bulan.


Nilai Rujukan : -

Masalah Klinis : -

Faktor yang dapat memepengaruhi hasil laboratorium :
• Sampel hemolisis, lipemia, dan hiperbilirubinemia.

Anti Nuclear Antibodies (ANA)

Anti-nuklir antibodi (juga dikenal sebagai anti-nuclear factor atau ANF) adalah autoantibodi yang mempunyai kemampuan mengikat pada struktur-struktur tertentu didalam inti (nukleus) dari sel-sel lekosit. ANA yang merupakan imunoglobulin (IgM, IgG, dan IgA) bereaksi dengan inti lekosit menyebabkan terbentuknya antibodi, yaitu anti-DNA dan anti-D-nukleoprotein (anti-DNP). Anti-DNA dan anti-DNP hampir selalu dijumpai pada penderita SLE. Temuan anti-DNA akan berfluktuasi bergantung pada proses penyakit ini, yang disertai dengan remisi dan eksaserbasi. Anti-DNA 95% dapat ditemukan pada penderita nefritis lupus.

Uji ANA merupakan skrining untuk lupus eritematosus sistemik (SLE) dan penyakit kolagen lainnya. Kadar total ANA juga dapat meningkat pada penyakit skleroderma, rheumatoid arthritis, sirosis, leukemia, mononukleosis infeksiosa, dan malignansi. Untuk mendiagnosis lupus, temuan uji ANA harus dibandingkan dengan hasil uji lupus lainnya.


Masalah Klinis


ANA ditemukan pada pasien dengan sejumlah penyakit autoimun, seperti SLE (penyebab tersering), sklerosis sistemik progresif (PSS), sindrom Sjörgen, sindrom CREST, rheumatoid arthritis, skleroderma, mononukleosis infeksiosa, polymyositis, 's tiroiditis Hashimoto, juvenile diabetes mellitus, penyakit Addison, vitiligo, anemia pernisiosa, glomerulonefritis, dan fibrosis paru.

ANA juga dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi yang tidak dianggap sebagai penyakit autoimun klasik, seperti infeksi kronis (virus, bakteri), penyakit paru (fibrosis paru primer, hipertensi paru), penyakit gastrointestinal (kolitis ulseratif, penyakit Crohn, sirosis bilier primer, penyakit hati alkoholik), kanker (melanoma, payudara, paru-paru, ginjal, ovarium dan lain-lain), penyakit darah (idiopatik trombositopenik purpura, anemia hemolitik), penyakit kulit (psoriasis, pemphigus), serta orang tua dan orang-orang dengan keluarga dengan riwayat penyakit reumatik.

Banyak obat yang bisa merangsang produksi ANA, seperti prokainamid (Procan SR), antihipertensi (hidralazin), dilantin, antibiotik (penisilin, streptomisin, tetrasiklin), metildopa, anti-TB (asam p-aminosalisilat, isoniazid), diuretik (asetazolamid, tiazid), kontrasepsi oral, trimetadion, fenitoin. ANA yang dipicu oleh obat-obatan disebut sebagai drug-induced ANA.


Prosedur

Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk menguji ANA. Salah satu metode yang dipakai adalah imunofluorensensi tak langsung yang dinamakan Fluorescent Antinuclear Antibodi Test atau FANA. Prosedur ini dapat mengidentifikasi autoantibodi terhadap DNA, histon, atau antigen nuklear yang dapat larut. Antibodi yang dilekati zat fluorenscen diamati di bawah mikroskop dan menentukan pola dan intensitas fluoresensinya. Pada uji ini, serum diinkubasi pada suatu slide berisi sel epitel manusia monolayer (Hep-2 cell line). Jika terdapat antibodi, ia mengikat inti sel. Ikatan antibodi dideteksi dengan menambahkan anti-human IgG fluorescent. Sel yang positif menunjukkan fluoresensi hijau terang dengan pola pewarnaan yang berbeda. Sampel awalnya diuji pada pengenceran 1:160. Sampel yang positif kemudian diencerkan dan pola fluoresensi dan titer dilaporkan. Titer adalah pengenceran tertinggi dari serum yang masih menunjukkan pewarnaan imunofluoresensi inti.

Ada empat pola pewarnaan fluorescen mikroskopik dalam nukleus sel yang umumnya digunakan, yaitu homogen, berbintik, nukleolar, dan sentromer, yang menunjukkan distribusi karakteristik. Pola homogen ditunjukkan dengan pewarnaan yang seragam di seluruh nukleus, pola ini disebabkan oleh antibodi melawan DNA atau histon, atau kombinasi keduanya. Pola homogen diyakini menunjukkan SLE atau induksi obat SLE.

Pola berbintik atau berbercak adalah pola pewarnaan yang terletak pada nukleus, tetapi terdiri dari globul-globul interseksi kecil. Pola ini disebabkan karena antibodi melawan antigen selain DNA dan histon. Antigen-antigen ini disebut soluble atau extractable nuclear antigen (ENA), yang mencakup Sm (awalnya sesuai dengan nama pasien Smith yang menderita SLE) dan RNP (ribonukleoprotein). Titer tinggi antibodi anti-Sm mendukung SLE, sedangkan antibodi anti-RNP mendukung penyakit jaringan ikat campuran (MTCD) serta SLE, sindrom Sjörgen dan beberapa gangguan reumatik lain. Varian lain dari pola berbercak adalah antibodi melawan antigen nuklear sel yang berproliferasi (PCNA). Antibodi PCNA sangat spesifik untuk SLE, tetapi hanya sekitar 3% pasien SLE memiliki antibodi PCNA.

Pola nukleolar melengkapi pola berbercak sesungguhnya, yaitu memperlihatkan deposisi daerah yang tepat yang negatif pada pola berbercak. Antigen pada kasus ini adalah RNA nukleolar. Walaupun bisa terjadi pada SLE, pola nukleolar lebih spesifik untuk skleroderma yang juga disebut sklerosis sistemik progresif (PSS), suatu gangguan progresif yang melibatkan fibrosis dan degenerasi kulit, pembuluh darah, otot, sendi dan organ lain (visera).

Selain bereaksi dengan antigen nukleolar, autoantibodi yang khas untuk PSS juga bereaksi dengan sentromer dari tiap kromosom. Pola sentromer terdiri dari titik-titik positif kecil multipel yang tersebar merat di seluruh nukleus sel interfase, tetapi segaris dengan kromosom pada sel metafase. Pola sentromer spesifik untuk sindrom CREST.

Namun, beberapa tahun terakhir, pemakaian pola pewarnaan tersebut untuk kepentingan klinis telah berkurang. Hal ini karena reaktivitas antigenik (pola fluoresens) yang berbeda dan klasifikasi penyakit rematik sangat tumpang tindih, disamping telah tersedianya tes autoantibodi yang lebih spesifik. Penting bagi laboratorium yang mengerjakan pemeriksaan ANA untuk mengenali antibodi dengan baik dan mengklasifikasikannya dengan tepat untuk mencegah kerancuan dengan autoantibodi yang bermakna klinis sesungguhnya.

Selain dengan FANA, uji ANA juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) yang dianggap sensitif dengan biaya yang lebih rendah.

Sampel untuk pengujian ANA adalah serum. Kumpulkan 3-5 ml darah vena dalam tabung bertutup merah. Lakukan pemusingan dan pisahkan serumnya. Hindari terjadinya hemolisis. Tidak ada pembatasan asupan makanan atau minuman sebelum dilakukan sampling. Catat obat yang dikonsumsi pasien yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium.


Nilai Rujukan

HASIL NORMAL : Negatif ( kurang dari 20 Units)

HASIL ABNORMAL : Equivocal : 20 – 60 Units, Positif : lebih dari 60 Units atau titer 1/160 atau lebih.

Nilai rujukan untuk tiap laboratorium mungkin bisa berbeda.


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium
• Obat-obatan tertentu yang mempengaruhi hasil pengujian (lihat pengaruh obat)

• Proses penuaan dapat menyebabkan peningkatan kadar ANA.

Antibodi Antikardiolipin (ACA)

Antibodi antikardiolipin adalah protein yang ditemukan dalam tubuh yang bekerja melawan kardiolipin. Kardiolipin dan fosfolipid terkait lainnya adalah molekul lipid yang biasanya ditemukan di membran sel dan platelet serta memiliki peranan penting dalam pengaturan pembekuan darah. Ketika antibodi dihasilkan melawan kardiolipin, mereka akan meningkatkan risiko pembentukan bekuan darah yang tidak semestinya (trombosis) pada arteri dan vena.

Antibodi antikardiolipin termasuk kelompok antibodi antifosfolipid (APA) bersama dengan anticoagulan lupus (LA). LA menyebabkan pemanjangan masa tromboplastin parsial teraktivasi (APTT). Manifestasi klinik yang terkait dengan dengan masing-masing antibodi tampak serupa, yaitu trombosis. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa trombosis vena mungkin terkait dengan LA, dan trombosis arteri lebih lebih mungkin terkait dengan titer antibodi ACA yang tinggi. Antibodi antifosfolipid merupakan kelainan didapat; mungkin terjadi dalam kaitan dengan gangguan autoimun sistemik atau dengan sendirinya. Pasien tetap berisiko untuk trombosis selama masih ada autoantibodi tersebut.


Masalah Klinis

Peningkatan kadar antibodi antikardiolipin dijumpai pada sindrom antifosfolipid (trombosis arteri dan vena yang berulang, keguguran berulang), penyakit autoimun (SLE, HIV/AIDS), persalinan prematur, pre-eklampsia, retardasi pertumbuhan intrauterin, trombositopenia, malignansi (leukemia, gangguan limfoproliferatif dan plasmasitik, tumor padat), infeksi (bakteri, virus, protozoa), peristiwa neurologis termasuk serangan iskemik transient dan stroke, penyakit hati, dan penyakit dermatologik (reticularis livedo, acrocyanosis, pioderma, nekrosis kulit luas). Pengaruh obat : Klorpromazin, prokainamid, kuinidin, penisilin, berbagai antibiotik, fenitoin.


Prosedur

Antibodi antikardiolipin terdiri dari tiga macam, yaitu IgM, IgG, dan IgA. Pengujian antibodi IgM dan IgG antikardiolipin sering diminta untuk membantu menentukan penyebab trombosis, keguguran berulang, atau trombositopenia. Mungkin juga diminta bersama dengan pengujian antikoagulan lupus (LA) untuk membantu menyelidiki penyebab APTT memanjang, terutama jika temuan klinis menunjukkan bahwa pasien memiliki SLE atau gangguan autoimun yang lain. Jika hasil tes utama normal tetapi masih ada kecurigaan klinis, maka pengujian antikardiolipin antibodi IgA dapat dilakukan.

Jika satu atau lebih jenis antibodi antikardiolipin terdeteksi, maka pengujian yang sama biasanya diulang setidaknya setalah 6 minggu untuk membantu menentukan apakah kehadiran mereka adalah terus-menerus atau sementara. Jika tes negatif, mungkin bisa diuji ulang di kemudian hari karena antibodi ini dapat berkembang setiap saat.

Pengujian antibodi antikardiolipin dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Pengujian dengan menggunakan analyzer otomatis memiliki ketelitian yang lebih baik.

Spesimen yang digunakan adalah serum yang diperoleh dengan cara mengumpulkan darah vena dalam tabung bertutup merah lalu memusingkan dengan sebuah centrifuger supaya serum terpisah dari sel-sel darah. Hindari tindakan yang menyebabkan hemolisis pada sampel. Tidak ada persiapan khusus atau pembatasan asupan makanan-minuman pada pasien sebelum sampling.


Nilai Rujukan
  • Hasil Normal (IgG dan IgM) : negatif (di bawah 20 Units)
  • Hasil Abnormal : equivocal (20-60 Units), positif (kadar di atas 60 Units)
Nilai rujukan dapat berbeda untuk tiap laboratorium, tergantung metode, alat atau reagen yang digunakan.


Faktor yang Mempengaruhi Temuan Laboratorium
  • Hemolisis pada sampel darah dapat menyebabkan hasil pengujian yang keliru.

Urinalisa 1

Urinalisis adalah tes yang dilakukan pada sampel urin pasien untuk tujuan diagnosis infeksi saluran kemih, batu ginjal, skrining dan evaluasi berbagai jenis penyakit ginjal, memantau perkembangan penyakit seperti diabetes melitus dan tekanan darah tinggi (hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan umum.


SPESIMEN

Urinalisis yang akurat dipengaruhi oleh spesimen yang berkualitas. Sekresi vagina, perineum dan uretra pada wanita, dan kontaminan uretra pada pria dapat mengurangi mutu temuan laboratorium. Mukus, protein, sel, epitel, dan mikroorganisme masuk ke dalam sistem urine dari uretra dan jaringan sekitarnya. Oleh karena itu pasien perlu diberitahu agar membuang beberapa millimeter pertama urine sebelum mulai menampung urine. Pasien perlu membersihkan daerah genital sebelum berkemih. Wanita yang sedang haid harus memasukkan tampon yang bersih sebelum menampung specimen. Kadang-kadang diperlukan kateterisasi untuk memperoleh spesimen yang tidak tercemar.

Meskipun urine yang diambil secara acak (random) atau urine sewaktu cukup bagus untuk pemeriksaan, namun urine pertama pagi hari adalah yang paling bagus. Urine satu malam mencerminkan periode tanpa asupan cairan yang lama, sehingga unsure-unsur yang terbentuk mengalami pemekatan.

Gunakan wadah yang bersih untuk menampung spesimen urin. Hindari sinar matahari langsung pada waktu menangani spesimen urin. Jangan gunakan urin yang mengandung antiseptik.
Lakukan pemeriksaan dalam waktu satu jam setelah buang air kecil. Penundaan pemeriksaan terhadap spesimen urine harus dihindari karena dapat mengurangi validitas hasil. Analisis harus dilakukan selambat-lambatnya 4 jam setelah pengambilan spesimen. Dampak dari penundaan pemeriksan antara lain : unsur-unsur berbentuk dalam sedimen mulai mengalami kerusakan dalam 2 jam, urat dan fosfat yang semula larut dapat mengendap sehingga mengaburkan pemeriksaan mikroskopik elemen lain, bilirubin dan urobilinogen dapat mengalami oksidasi bila terpajan sinar matahari, bakteri berkembangbiak dan dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikrobiologik dan pH, glukosa mungkin turun, dan badan keton, jika ada, akan menguap.


PEMERIKSAAN MAKROSKOPIK

Urinalisis dimulai dengan mengamati penampakan makroskopik : warna dan kekeruhan. Urine normal yang baru dikeluarkan tampak jernih sampai sedikit berkabut dan berwarna kuning oleh pigmen urokrom dan urobilin. Intensitas warna sesuai dengan konsentrasi urine; urine encer hampir tidak berwarna, urine pekat berwarna kuning tua atau sawo matang. Kekeruhan biasanya terjadi karena kristalisasi atau pengendapan urat (dalam urine asam) atau fosfat (dalam urine basa). Kekeruhan juga bisa disebabkan oleh bahan selular berlebihan atau protein dalam urin.

Volume urine normal adalah 750-2.000 ml/24hr. Pengukuran volume ini pada pengambilan acak (random) tidak relevan. Karena itu pengukuran volume harus dilakukan secara berjangka selama 24 jam untuk memperoleh hasil yang akurat.

Kelainan pada warna, kejernihan, dan kekeruhan dapat mengindikasikan kemungkinan adanya infeksi, dehidrasi, darah di urin (hematuria), penyakit hati, kerusakan otot atau eritrosit dalam tubuh. Obat-obatan tertentu juga dapat mengubah warna urin. Kencing berbusa sangat mungkin mewakili jumlah besar protein dalam urin (proteinuria).

Beberapa keadaan yang menyebabkan warna urine adalah :
  • Merah : Penyebab patologik : hemoglobin, mioglobin, porfobilinogen, porfirin. Penyebab nonpatologik : banyak macam obat dan zat warna, bit, rhubab (kelembak), senna.
  • Oranye : Penyebab patologik : pigmen empedu. Penyebab nonpatologik : obat untuk infeksi saliran kemih (piridium), obat lain termasuk fenotiazin.
  • Kuning : Penyebab patologik : urine yang sangat pekat, bilirubin, urobilin. Penyebab nonpatologik : wotel, fenasetin, cascara, nitrofurantoin.
  • Hijau : Penyebab patologik : biliverdin, bakteri (terutama Pseudomonas). Penyebab nonpatologik : preparat vitamin, obat psikoaktif, diuretik.
  • Biru : tidak ada penyebab patologik. Pengaruh obat : diuretik, nitrofuran.
  • Coklat : Penyebab patologik : hematin asam, mioglobin, pigmen empedu. Pengaruh obat : levodopa, nitrofuran, beberapa obat sulfa.
  • Hitam atau hitam kecoklatan : Penyebab patologik : melanin, asam homogentisat, indikans, urobilinogen, methemoglobin. Pengaruh obat : levodopa, cascara, kompleks besi, fenol.


ANALISIS DIPSTICK

Dipstick adalah strip reagen berupa strip plastik tipis yang ditempeli kertas seluloid yang mengandung bahan kimia tertentu sesuai jenis parameter yang akan diperiksa. Urine Dip merupakan analisis kimia cepat untuk mendiagnosa berbagai penyakit.

Uji kimia yang tersedia pada reagen strip umumnya adalah : glukosa, protein, bilirubin, urobilinogen, pH, berat jenis, darah, keton, nitrit, dan leukosit esterase.


Prosedur Tes

Ambil hanya sebanyak strip yang diperlukan dari wadah dan segera tutup wadah. Celupkan strip reagen sepenuhnya ke dalam urin selama dua detik. Hilangkan kelebihan urine dengan menyentuhkan strip di tepi wadah spesimen atau dengan meletakkan strip di atas secarik kertas tisu. Perubahan warna diinterpretasikan dengan membandingkannya dengan skala warna rujukan, yang biasanya ditempel pada botol/wadah reagen strip. Perhatikan waktu reaksi untuk setiap item. Hasil pembacaan mungkin tidak akurat jika membaca terlalu cepat atau terlalu lambat, atau jika pencahayaan kurang. Pembacaan dipstick dengan instrument otomatis lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara visual.

Pemakaian reagen strip haruslah dilakukan secara hati-hati. Oleh karena itu harus diperhatikan cara kerja dan batas waktu pembacaan seperti yang tertera dalam leaflet. Setiap habis mengambil 1 batang reagen strip, botol/wadah harus segera ditutup kembali dengan rapat, agar terlindung dari kelembaban, sinar, dan uap kimia. Setiap strip harus diamati sebelum digunakan untuk memastikan bahwa tidak ada perubahan warna.


Glukosa 

Kurang dari 0,1% dari glukosa normal disaring oleh glomerulus muncul dalam urin (kurang dari 130 mg/24 jam). Glukosuria (kelebihan gula dalam urin) terjadi karena nilai ambang ginjal terlampaui atau daya reabsorbsi tubulus yang menurun. Glukosuria umumnya berarti diabetes mellitus. Namun, glukosuria dapat terjadi tidak sejalan dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah, oleh karena itu glukosuria tidak selalu dapat dipakai untuk menunjang diagnosis diabetes mellitus.

Untuk pengukuran glukosa urine, reagen strip diberi enzim glukosa oksidase (GOD), peroksidase (POD) dan zat warna.


Protein

Biasanya, hanya sebagian kecil protein plasma disaring di glomerulus yang diserap oleh tubulus ginjal. Normal ekskresi protein urine biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dl dalam setiap satu spesimen. Lebih dari 10 mg/ml didefinisikan sebagai proteinuria.

Sejumlah kecil protein dapat dideteksi dari individu sehat karena perubahan fisiologis. Selama olah raga, stres atau diet yang tidak seimbang dengan daging dapat menyebabkan protein dalam jumlah yang signifikan muncul dalam urin. Pra-menstruasi dan mandi air panas juga dapat menyebabkan jumlah protein tinggi.

Protein terdiri atas fraksi albumin dan globulin. Peningkatan ekskresi albumin merupakan petanda yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang disebabkan karena penyakit glomeruler, diabetes mellitus, dan hipertensi. Sedangkan peningkatan ekskresi globulin dengan berat molekul rendah merupakan petanda yang sensitif untuk beberapa tipe penyakit tubulointerstitiel.

Dipsticks mendeteksi protein dengan indikator warna Bromphenol biru, yang sensitif terhadap albumin tetapi kurang sensitif terhadap globulin, protein Bence-Jones, dan mukoprotein.


Bilirubin

Bilirubin yang dapat dijumpai dalam urine adalah bilirubin direk (terkonjugasi), karena tidak terkait dengan albumin, sehingga mudah difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresikan ke dalam urine bila kadar dalam darah meningkat. Bilirubinuria dijumpai pada ikterus parenkimatosa (hepatitis infeksiosa, toksik hepar), ikterus obstruktif, kanker hati (sekunder), CHF disertai ikterik.


Urobilinogen

Empedu yang sebagian besar dibentuk dari bilirubin terkonjugasi mencapai area duodenum, tempat bakteri dalam usus mengubah bilirubin menjadi urobilinogen. Sebagian besar urobilinogen berkurang di faeses; sejumlah besar kembali ke hati melalui aliran darah, di sini urobilinogen diproses ulang menjadi empedu; dan kira-kira sejumlah 1% diekskresikan ke dalam urine oleh ginjal.

Peningkatan ekskresi urobilinogen dalam urine terjadi bila fungsi sel hepar menurun atau terdapat kelebihan urobilinogen dalam saluran gastrointestinal yang melebehi batas kemampuan hepar untuk melakukan rekskresi. Urobilinogen meninggi dijumpai pada : destruksi hemoglobin berlebihan (ikterik hemolitika atau anemia hemolitik oleh sebab apapun), kerusakan parenkim hepar (toksik hepar, hepatitis infeksiosa, sirosis hepar, keganasan hepar), penyakit jantung dengan bendungan kronik, obstruksi usus, mononukleosis infeksiosa, anemia sel sabit. Urobilinogen urine menurun dijumpai pada ikterik obstruktif, kanker pankreas, penyakit hati yang parah (jumlah empedu yang dihasilkan hanya sedikit), penyakit inflamasi yang parah, kolelitiasis, diare yang berat.

Hasil positif juga dapat diperoleh setelah olahraga atau minum atau dapat disebabkan oleh kelelahan atau sembelit. Orang yang sehat dapat mengeluarkan sejumlah kecil urobilinogen.


Keasaman (pH)

Filtrat glomerular plasma darah biasanya diasamkan oleh tubulus ginjal dan saluran pengumpul dari pH 7,4 menjadi sekitar 6 di final urin. Namun, tergantung pada status asam-basa, pH kemih dapat berkisar dari 4,5 – 8,0. pH bervariasi sepanjang hari, dipengaruhi oleh konsumsi makanan; bersifat basa setelah makan, lalu menurun dan menjadi kurang basa menjelang makan berikutnya. Urine pagi hari (bangun tidur) adalah yang lebih asam. Obat-obatan tertentu dan penyakit gangguan keseimbangan asam-basa jug adapt mempengaruhi pH urine.

Urine yang diperiksa haruslah segar, sebab bila disimpan terlalu lama, maka pH akan berubah menjadi basa. Urine basa dapat memberi hasil negatif atau tidak memadai terhadap albuminuria dan unsure-unsur mikroskopik sedimen urine, seperti eritrosit, silinder yang akan mengalami lisis. pH urine yang basa sepanjang hari kemungkinan oleh adanya infeksi. Urine dengan pH yang selalu asam dapat menyebabkan terjadinya batu asam urat.

Berikut ini adalah keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi pH urine :
  • pH basa : setelah makan, vegetarian, alkalosis sistemik, infeksi saluran kemih (Proteus atau Pseudomonas menguraikan urea menjadi CO2 dan ammonia), terapi alkalinisasi, asidosis tubulus ginjal, spesimen basi.
  • pH asam : ketosis (diabetes, kelaparan, penyakit demam pada anak), asidosis sistemik (kecuali pada gangguan fungsi tubulus, asidosis respiratorik atau metabolic memicu pengasaman urine dan meningkatkan ekskresi NH4+), terapi pengasaman.


Berat Jenis (Specific Gravity, SG

Berat jenis (yang berbanding lurus dengan osmolalitas urin yang mengukur konsentrasi zat terlarut) mengukur kepadatan air seni serta dipakai untuk menilai kemampuan ginjal untuk memekatkan dan mengencerkan urin.

Spesifik gravitasi antara 1,005 dan 1,035 pada sampel acak harus dianggap wajar jika fungsi ginjal normal. Nilai rujukan untuk urine pagi adalah 1,015 – 1,025, sedangkan dengan pembatasan minum selama 12 jam nilai normal > 1,022, dan selama 24 jam bisa mencapai ≥1,026. Defek fungsi dini yang tampak pada kerusakan tubulus adalah kehilangan kemampuan untuk memekatkan urine.

BJ urine yang rendah persisten menunjukkan gangguan fungsi reabsorbsi tubulus. Nokturia dengan ekskresi urine malam > 500 ml dan BJ kurang dari 1.018, kadar glukosa sangat tinggi, atau mungkin pasien baru-baru ini menerima pewarna radiopaque kepadatan tinggi secara intravena untuk studi radiografi, atau larutan dekstran dengan berat molekul rendah. Kurangi 0,004 untuk setiap 1% glukosa untuk menentukan konsentrasi zat terlarut non-glukosa.


Darah (Blood)

Pemeriksaan dengan carik celup akan memberi hasil positif baik untuk hematuria, hemoglobinuria, maupun mioglobinuria. Prinsip tes carik celup ialah mendeteksi hemoglobin dengan pemakaian substrat peroksidase serta aseptor oksigen. Eritrosit yang utuh dipecah menjadi hemoglobin dengan adanya aktivitas peroksidase. Hal ini memungkinkan hasil tidak sesuai dengan metode mikroskopik sedimen urine.

Hemoglobinuria sejati terjadi bila hemoglobin bebas dalam urine yang disebabkan karena danya hemolisis intravaskuler. Hemolisis dalam urine juga dapat terjadi karena urine encer, pH alkalis, urine didiamkan lama dalam suhu kamar. Mioglobinuria terjadi bila mioglobin dilepaskan ke dalam pembuluh darah akibat kerusakan otot, seperti otot jantung, otot skeletal, juga sebagai akibat dari olah raga berlebihan, konvulsi. Mioglobin memiliki berat molekul kecil sehingga mudah difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresi ke dalam urine.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Hasil positif palsu dapat terjadi bila urine tercemar deterjen yang mengandung hipoklorid atau peroksida, bila terdapat bakteriuria yang mengandung peroksidase.
  • Hasil negatif palsu dapat terjadi bila urine mengandung vitamin C dosis tinggi, pengawet formaldehid, nitrit konsentrasi tinggi, protein konsentrasi tinggi, atau berat jenis sangat tinggi.
Urine dari wanita yang sedang menstruasi dapat memberikan hasil positif.


Keton 

Badan keton (aseton, asam aseotasetat, dan asam β-hidroksibutirat) diproduksi untuk menghasilkan energi saat karbohidrat tidak dapat digunakan. Asam aseotasetat dan asam β-hidroksibutirat merupakan bahan bakar respirasi normal dan sumber energi penting terutama untuk otot jantung dan korteks ginjal. Apabila kapasitas jaringan untuk menggunakan keton sudah mencukupi maka akan diekskresi ke dalam urine, dan apabila kemampuan ginjal untuk mengekskresi keton telah melampaui batas, maka terjadi ketonemia. Benda keton yang dijumpai di urine terutama adalah aseton dan asam asetoasetat.

Ketonuria disebabkan oleh kurangnya intake karbohidrat (kelaparan, tidak seimbangnya diet tinggi lemak dengan rendah karbohidrat), gangguan absorbsi karbohidrat (kelainan gastrointestinal), gangguan metabolisme karbohidrat (mis. diabetes), sehingga tubuh mengambil kekurangan energi dari lemak atau protein, febris.


Nitrit

Di dalam urine orang normal terdapat nitrat sebagai hasil metabolisme protein, yang kemudian jika terdapat bakteri dalam jumlah yang signifikan dalam urin (Escherichia coli, Enterobakter, Citrobacter, Klebsiella, Proteus) yang megandung enzim reduktase, akan mereduksi nitrat menjadi nitrit. Hal ini terjadi bila urine telah berada dalam kandung kemih minimal 4 jam. Hasil negative bukan berarti pasti tidak terdapat bakteriuria sebab tidak semua jenis bakteri dapat membentuk nitrit, atau urine memang tidak mengandung nitrat, atau urine berada dalam kandung kemih kurang dari 4 jam. Disamping itu, pada keadaan tertentu, enzim bakteri telah mereduksi nitrat menjadi nitrit, namun kemudian nitrit berubah menjadi nitrogen.

Spesimen terbaik untuk pemeriksaan nitrit adalah urine pagi dan diperiksa dalam keadaan segar, sebab penundaan pemeriksaan akan mengakibatkan perkembang biakan bakteri di luar saluran kemih, yang juga dapat menghasilkan nitrit.

Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Hasil positif palsu karena metabolisme bakteri in vitro apabila pemeriksaan tertunda, urine merah oleh sebab apapun, pengaruh obat (fenazopiridin).
  • Hasil negatif palsu terjadi karena diet vegetarian menghasilkan nitrat dalam jumlah cukup banyak, terapi antibiotik mengubah metabolisme bakteri, organism penginfeksi mungkin tidak mereduksi nitrat, kadar asam askorbat tinggi, urine tidak dalam kandung kemih selama 4-6 jam, atau berat jenis urine tinggi.

Lekosit esterase

Lekosit netrofil mensekresi esterase yang dapat dideteksi secara kimiawi. Hasil tes lekosit esterase positif mengindikasikan kehadiran sel-sel lekosit (granulosit), baik secara utuh atau sebagai sel yang lisis. Limfosit tidak memiliki memiliki aktivitas esterase sehingga tidak akan memberikan hasil positif. Hal ini memungkinkan hasil mikroskopik tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan carik celup.

Temuan laboratorium negatif palsu dapat terjadi bila kadar glukosa urine tinggi (>500mg/dl), protein urine tinggi (>300mg/dl), berat jenis urine tinggi, kadar asam oksalat tinggi, dan urine mengandung cephaloxin, cephalothin, tetrasiklin. Temuan positif palsu pada penggunaan pengawet formaldehid. Urine basi dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites