Rabu, 15 Juni 2011

PRMBARIAN RANGSANGAN YANG MEMPENGARUHI KECERDASAN ANAK


Berikut adalah beberapa pola pemberian perangsangan pada anak – anak.
1. Perangsangan yang diberikan terlalu dini
Kecemasan pada orangtua, harapan dan cita – cita pribadi yang tidak tercapai dan ingin dicapai melalui anak, penilaian – penilaian yang terlalu berbeda dengan keadaan obyektif anak, dan persaingan antar saudara, acapkali menjadi sebab timbulnya keinginan untuk cepat – cepat memperkembangkan anak, melebihi kerangka batas dari kemampuan sebenarnya dengan memberikan perangsangan yang terlalu dini.

Hal seperti ini lebih jelas terlihat dalam kaitannya dengan prestasi – prestasi yang dicapai anak baik di Kelompok Bermain ataupun di TK. Tiga puluh tahun yang lalu, A.L. Gesell dan H. Thompson sudah membuktikan melalui percobaannya terhadap anak kembar identik, bahwa latihan yang diberikan kepada seorang anak sebelum anak mencapai tahapan kematangan untuk bisa menerima suatu latihan tidak akan berhasil dan bahkan bisa menimbulkan kesulitan – kesulitan pada perkembangan aspek – aspek lain.

Kesulitan yang sering dihadapi baik oleh orangtua, guru atau pendidik – pendidik lain ialah mengetahui secara obyektif masa – masa yang tepat untuk memberikan latihan atau mengajarkan sesuatu, yang kadang – kadang tidak sama pada semua anak. Penyuluhan kepada orangtua dan pembinaan terhadap program – program kurikuler di Kelompok Bermain dan TK maupun SD seyogyanya perlu ditingkatkan.

Untungnya, perangsangan yang terlalu dini belum atau tidak melanda masyarakat banyak, karena hanya terdapat pada sekelompok kecil masyarakat, terutama yang tinggal di kota – kota besar.

Sehubungan dengan usaha – usaha mengajarkan sesuatu kepada anak yang belum mencapai suatu tahapan kematangan, saya ingin menanggapi sedikit mengenai pengajaran Matematika Modern. Dewasa ini sudah bukan hal yang mengejutkan lagi kalau seorang anak didik di SD memperoleh angka yang tidak tetap, bahkan cenderung lebih sering buruk ketimbang baik untuk mata pelajaran Matematika.

Memang harus diakui, bahwa mata pelajaran Matematika merupakan mata pelajaran yang sukar karena sifatnya yang membutuhkan kemampuan abstraksi dan kemampuan penalaran secukupnya agar bisa mengikutinya.

Dengan demikian keberhasilan seorang anak tergantung dari kemampuan anak itu sendiri, di samping kecakapan dalam cara dan metode guru yang mengajarnya dan tingkatan atau derajat kesukaran dari bahan yang diajarkan. Khusus mengenai bahan yang diajarkan harus disesuaikan dengan masa – masa perkembangan anak dan oleh karena itu diperlukan penelitian yang mendalam.

Menurut L Kohlberg yang dikutip oleh W.C. Crain (1980), kesulitan dalam mengajarkan Matematika Modern disebabkan usaha – usahanya untuk mengajar Matematika kepada anak – anak yang masih berada pada masa kongkrit – operasional atau lebih rendah (pentahapan dari J. Piaget), sedangkan bahan yang diajarkan sebenarnya lebih sesuai diberikan kepada anak pada masa formal – operasional, jadi pada tahapan perkembangan yang lebih tinggi.

2. Perangsangan yang diberikan terlalu lambat
Pola sikap lain dalam mengasuh, mendidik dan memperkembangkan anak banyak terlihat pada masyarakat di pedesaan dan di pedalaman. Padahal jumlah ini cukup besar. Orangtua cenderung pasif dan lebih banyak membiarkan anak tumbuh dan berkembang sendiri dan baru memasukkan anak setelah dianggap sudah cukup besar dan acapkali justru sedikit terlambat dari masa kritis yang telah dicapai oleh anak.

Pola sikap yang demikian ini menjadi ciri pada teori perkembangan yang dikemukakan oleh J. Langer (1969) yang disebut dengan Teori Lampu – Organik, suatu teori yang memandang “manusia berkembang menjadi apa yang ia bentuk sendiri dengan aktivitas – aktivitasnya sendiri”.

Sebagai pribadi yang aktif yang ikut menentukan arah perkembangannya, tidak berarti dilepaskan sama sekali dari perangsangan – perangsangan yang diatur dan disistimatiskan oleh orang lain, oleh orangtua atau pendidik.

Orangtua acapkali terlambat dalam memperkembangkan ciri – ciri kepribadian anak yang meliputi aspek kognitif dan aspek moral. Orangtua sering lupa bahwa hubungan yang erat dengan anak, berbicara dengan anak, memberi tugas – tugas praktis kepada anak sebenarnya merupakan kegiatan instruktif di samping menjadi obyek imitatif untuk memacu seluruh perkembangan anak.

Sikap menanti dan menunjukkan bantuan hanya kalau diperlukan sebenarnya merupakan sikap yang terlalu optimistis dan bisa menimbulkan banyak masalah. Salah satu gejala yang sering terlihat adalah timbulnya kenakalan – kenakalan pada masa remaja disebabkan oleh merenggangnya hubungan antara orangtua dengan anak – anak pra remaja.

Dengan kata lain orangtua kurang aktif dalam mempersiapkan anak pra remaja memasuki masa remaja. Sedangkan masa remaja adalah masa di mana muncul banyak masalah yang harus dihadapi olch remaja.

Masih dalam hubungan dengan perangsangan yang diberikan terlambat ini, mengenai perlunya kesesuaian antara masa – masa kritis pada anak – anak TK maupun SD dengan pelajaran – pelajaran yang diberikan oleh pihak sekolah. Menerima pelajaran – pelajaran terlalu mudah atau harus menanti memperoleh pelajaran lanjutan karena umurnya belum memenuhi syarat, padahal anak sudah siap, jelas akan merugikan perkembangan anak.

Sekalipun kenyataannya ada perbedaan individual antara seorang dengan anak lain, tetapi patokan yang berlaku umum memang perlu ditentukan. Namun patokan ini hendaknya disertai keluwesan dengan mengingat banyaknya faktor sosial dan kebudayaan yang mempengaruhi cepat lambatnya tahapan – tahapan perkembangan dicapai.

Secara khusus hal ini dirasakan di kota – kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya di mana sebagian dari anak – anak di TK golongan C sebenarnya sudah mampu mengikuti pelajaran di kelas 1 SD, sehingga sering disebut bahwa TK golongan C terutama banyak di kota – kota besar sebenarnya adalah kelas 1 SD tersamar, karena acapkali guru terpaksa terbawa untuk menyesuaikan dengan masa yang sudah siap dan kebutuhan untuk lebih banyak mengetahui pada anak – anak.

3. Perangsangan yang diberikan secara tidak terpadu
Kelompok ini sering melupakan bahwa memperkembangkan anak tidak berarti hanya memperkembangkan kemampuan atau aspek intelek agar mencapai prestasi yang baik, atau aspek – aspek lain seperti bakat khusus, melainkan sebenarnya keseluruhan dari aspek – aspek kepribadiannya.

Terlalu menekankan pada satu atau dua aspek kepribadian yang berkembang atau diperkembangkan, menyebabkan hambatan pada aspek – aspek lain, sehingga secara keseluruhan gambaran kepribadiannya akan menjadi tidak seimbang dan tidak harmonis.

Perimbangan waktu untuk belajar, untuk membuat pekerjaan rumah yang berkaitan dengan latihan pada segi kognitif dengan waktu untuk berbincang – bincang dengan orangtua dalam rangka menanamkan segi – segi moralnya, harus ada dan dikoordinasikan dengan baik.

Namun peranan dan tugas ibu untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak seringkali diserahkan kepada ibu – pengganti, karena ibu mempunyai banyak tugas lain, kesibukan lain sesuai dengan status sosialnya.

Pada hakekatnya, kesibukan sosial atau kesibukan karena bekerja, tidak selalu secara mutlak menimbulkan akibat yang kurang baik untuk perkembangan anak, sebab yang lebih penting adalah corak dan kualitas hubungan antara anak dan ibunya atau orangtuanya.

Dengan demikian mudah dipahami terdapatnya ibu – ibu yang punya banyak waktu, tetapi yang hanya hadir secara fisik dalam kehidupan psikis anak, karena ia merasa sudah menyerahkan tugas dan pekerjaan mengasuh anak kepada orang lain.

Baru bilamana timbul gangguan – gangguan dalam proses perkembangan anak, misalnya anak menjadi agresif, si ibu turun tangan untuk memarahi anak. Keadaan seperti ini terjadi pula pada tokoh ayah, yang beranggapan bahwa tugas membesarkan dan mendidik anak telah dilimpahkan kepada istrinya karena ia mempunyai tugas lain yang lebih penting yang harus dilakukan untuk kehidupan, kesejahteraan dan kemajuan keluarganya.

Lagi bilamana anak memperlihatkan kelakuan yang menyimpang, si ayah baru turun tangan. Kehadiran ayah dalam kehidupan psikis anak, hanya sebagai momok dan tokoh penguasa tanpa kompromi, karena dalam kenyataannya tidak sering berdialog. Contoh – contoh ini memperlihatkan adanya rangsang – rangsang yang sampai pada anak secara tidak terpadu dan karena itu mengakibatkan terbentuknya struktur dan fungsi kepribadian yang tidak harmonis.

Krisis identitas sering terjadi pada anak karena tokoh model yang bisa ditiru oleh anak menjadi kabur, dengan akibat anak mencari model di luar rumah yang seringkali malah menyesatkan.

Pustaka
Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, Oleh Singgih D. Gunarsa & Yulia.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites