Rabu, 15 Juni 2011

PERAN IBU UNTUK ANAK


Dalam kehidupan sehari – hari dapat dilihat adanya hubungan yang terus – menerus antara ibu atau pengganti ibu dengan bayi. Dengan sendirinya hal ini menimbulkan hubungan timbal balik, yang secara berangsur – angsur akan menumbuhkan perasaan kasih sayang antara kedua pihak.

Sifat hubungan ibu dan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak di kemudian hari. Hubungan yang kaku dan dingin, penuh rasa permusuhan, akan memupuk kelak sifat suka melawan pada anak. Hubungan yang demikian juga merupakan sebab terbentuknya individu – individu yang bertipe antisosial.

M. Rutter menyebutkan enam sifat yang dianggapnya merupakan kualitas perawatan pada bayi, yaitu :
1. Adanya hubungan cinta kasih
2. Adanya keterikatan
3. Adanya hubungan yang tidak terputus
4. Adanya rangsang untuk berinteraksi
5. Hubungan dengan seorang individu
6. Perawatan di rumah sendiri.

Hubungan yang ada antara anak dengan orang – orang dewasa dalam rumah tangga itu menyebabkan tumbuhnya keterikatan. Tetapi eratnya keterikatan itu bisa berbeda, sesuai dengan intensitas jalinan hubungan mereka dengan si anak. Rasa cemas yang sering dialami anak juga dapat meningkatkan intensitas keterikatan, karena anak dapat memperoleh perasaan aman berdekatan dengan ibu atau pengasuhnya.

Adakalanya keterikatan anak dengan pengasuh lebih besar daripada dengan ibu sendiri, tetapi hubungan ini terputus karena pengasuh tidak lagi bekerja. Dalam hal demikian anak masih bisa memperoleh kembali keterikatan dengan ibu, sehingga dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa keterikatan itu bukan saja tumbuh oleh karena intensitas pergaulan, tetapi juga karena pergaulan itu tidak terputus antara ibu dan anak.

Interaksi antara ibu atau pengasuh dengan anak dapat juga dipandang sebagai interaksi yang memberi rangsangan. Anak dirangsang untuk berkembang dan belajar banyak hal, terutama dalam memberikan respon – respon tingkah laku yang bervariasi.

Sistem kekeluargaan di Indonesia memang belum membuka kemungkinan yang luas untuk mendirikan lembaga penitipan bayi. Dalam rumah tangga umumnya masih terdapat orang dewasa lain selain ayah dan ibu. Jika kedua orangtua bekerja, masih ada orang dewasa yang dapat dipercaya untuk merawat dan mengasuh anaknya.

Jadi di sini terjadi perawatan yang diberikan lebih dari satu orang atau dalam terminologi disebut dengan “multiple mothering“. Kebanyakan perawatan dilakukan di tengah keluarga sendiri. Kepustakaan pun menyebutkan bahwa. “mothering” demikian dianggap lebih baik bagi perkembangan jiwa anak dari pada di lembaga – lembaga penitipan anak.

Erikson, menamakan tahap pertama dari kehidupan bayi itu sebagai pengalaman untuk memperoleh “dasar kepercayaan” atau “dasar ketidakpercayaan”. Dalam tahap ini bayi membutuhkan perasaan yang menyenangkan secara fisik dan sesedikit mungkin pengalaman rasa takut atau tidak pasti.

Jika bayi dapat mencapai hal ini maka ia akan berkembang dengan memperluas kepercayaannya pada perkembangan lebih lanjut. Sebaliknya rasa tidak berdaya timbul dari ketidakpuasan secara fisik dan pengalaman – pengalaman psikologis yang mengakibatkan ketakutan dalam menghadapi situasi – situasi yang akan datang.

Di sini Erikson menganggap dalam masa menyusu pada bayi, mulut sebagai penghubung bayi dengan dunia luar. Kalau Freud menekankan kepuasan oral, maka Erikson menekankan peranan orangtua dalam membina kepercayaan bayi terhadap dunia luarnya.

Dasar kepercayaan yang terbentuk pada masa ini membantu bayi sebagai individu untuk mengembangkan diri dan menerima pengalaman – pengalaman baru. Sementara itu dapat pula terjadi kemungkinan terbentuknya rasa tidak percaya.

Selama tahap oral, ibu atau orang yang merawatnya memainkan peranan terbesar dalam lingkungannya serta merupakan obyek utamanya. Ayah baru kemudian mendapat giliran untuk dijadikan obyek yang penting. Sentuhan dengan tubuh ibu dapat memberikan perasaan aman.

Kesenangan juga diperoleh dalam menikmati peluk ibu dan irama buaiannya. Hal tersebut menunjukkan adanya respon dari bayi terhadap perlakuan yang diterimanya, dan respon itu akan bermakna positif bagi perkembangan jiwanya bila perlakuan yang diterimanya dilandasi oleh perasaan cinta.

Sebaliknya bayi dapat juga merasakan ketiadaan cinta ibu atau orang yang merawatnya, karena itu responnya dengan sendirinya berlainan, hal inilah yang disebut oleh Erikson sebagai suatu dasar terbentuknya rasa tidak percaya.

Setelah bayi mengenal ibunya dan dapat membedakan dari orang dewasa lainnya, mulailah timbul “keterikatan” terhadap si ibu dan kadang – kadang menyebabkan bayi takut kepada orang lain yang tidak dikenalnya. Ibu yang merupakan obyek yang dikenal, memberikan rasa aman oleh kehadirannya. Orang dewasa lain yang tak dikenal menimbulkan perasaan tak tenteram yang merangsang rasa was – was pada bayi. Ia tahu bahwa ibu akan selalu memenuhi kebutuhan – kebutuhannya.

Keterikatan bayi pada ibunya menurut Freud dimulai dari situasi memberi makan, dan menurut Erikson bermula pada pergaulan yang terjadi terus – menerus antara ibu dan bayi, sedangkan cara ibu memberi makan bayi akan memperkuat keterikatannya.

Menurut P.H. Mussen dkk., pada ibu yang menyusui sendiri, situasi pemberian makanan akan menimbulkan kesenangan pula bagi si ibu di mana is mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memeluk anak, merapatkan tubuhnya dan memberikan “support” pada bayi dan juga perangsangan pada alat indra bayi.

Sikap memeluk memungkinkan anak lebih aktif dalam memberikan respon gerakan terhadap si ibu. Tetapi situasi ini dapat pula terjadi pada ibu – ibu yang melakukan pemberian makan bayinya dengan botol susu yaitu jika anak digendong atau dipangku serta dirangsang pula untuk bicara ataupun bermain – main. Lain halnya bila ibu memberikan botol dan meninggalkan anak sendirian, cara pemberian makan yang secara psikologis kurang menumbuhkan rasa keterikatan pada bayi.

Ada dugaan bahwa bayi bisa mengembangkan suatu skema yang kaya atau suatu “mental image” mengenai ibunya, terutama wajahnya. “Mental image” ini berhasil dikembangkan karena adanya keterikatan antara ibu dan anak. Ibu itu menjadi tempat bayi menggantungkan keterikatannya, dengan akibat bayi cenderung memberikan reaksi takut atau menjauhkan diri dari orang asing yang berbeda dengan ibunya.

Gejala ini disebut “stranger anxiety” atau takut kepada orang yang asing baginya, yang biasanya hanya suatu keadaan sementara yang dialami anak pada usia antara 6 sampai 8 bulan. Atas dasar inilah timbulnya anggapan bahwa bayi itu sudah berhasil mengembangkan skema yang kaya atau “mental image” tentang wajah ibu atau pengasuhnya, yang menyebabkan ia dapat membedakan dari orang asing.

Jika anak sudah dibiasakan sering bertemu dengan orang – orang yang asing baginya maka reaksi tidak lagi berupa sikap ketakutan. Keterikatan anak terhadap ibunya belum sempurna sebelum anak itu mencapai usia dua tahun, oleh sebab itulah orangtua yang akan mengadopsi anak lebih disarankan oleh lembaga adopsi untuk sedini mungkin usia anak itu dan setidaknya di bawah usia dua tahun, oleh karena makin terikat hubungannya dengan si ibu, makin sulit menghadapi perubahan lingkungan.

Walaupun pengalaman usia yang singkat ini yaitu hanya dua tahun, tetapi merupakan dasar untuk persiapan perkembangan dirinya ke tingkat yang lebih lanjut, misalnya dalam perkembangan sosialisasinya dapat menimbulkan kemungkinan hambatan dan akan mempengaruhi hubungannya kelak terhadap antar manusia.

Pustaka
Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, Oleh Singgih D. Gunarsa & Yulia

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites